Kartika Metafisika (Mahasiswa Program Studi S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya & Awardee Beasiswa Indonesia Bangkit Kemenag LPDP 2023)
SURABAYA SENTRA PUBLIKASI INDONESIA
Pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tengah mengakselerasi penerapan Kurikulum Merdeka. Salah satu isu yang harus diadaptasi oleh para guru adalah pembelajaran berdiferensiasi. Landasan Filosofis Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran harus berpihak kepada perkembangan peserta didik, bukan untuk mengejar target kurikulum.
Meski kurikulum merdeka dirumuskan untuk mengakomodasi kondisi darurat masa pandemi, namun dari situlah dunia pendidikan di negara kita disadarkan bahwa kondisi kesiapan tiap daerah berbeda-beda. Sarana prasarana sekolah dan madrasah yang ada di Jakarta tentu berbeda dengan kondisi di Nabire Papua. Jangankan sarana dan prasarana, karakteristik masyarakat dan individu tiap daerah juga berbeda. Sehingga, dibutuhkan sudut padang baru dalam melihat kebutuhan belajar peserta didik yang beranekaragam di berbagai tempat.
Jadi, apakah yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensiasi? Pembelajaran berdiferensiasi digagas oleh ide Prof Dr. Carol Tomlinson, seorang pakar edukasi untuk anak berbakat. Dia adalah Kepala Bidang Kepemimpinan, Yayasan, dan Kebijakan Pendidikan Curry School of Education di Universitas Virginia. Menurutnya, pembelajaran berdiferensiasi adalah proses pembelajaran yang sesuai dengan kesiapan, kemampuan, kesukaan, dan kebutuhan masing-masing peserta didik agar pembelajaran terasa menyenangkan dan memberikan rasa mampu (baca: efikasi diri) bagi peserta didik dalam pengalaman belajarnya untuk mencapai tujuan dan mengatasi hambatan.
Untuk mencapai hal tersebut, maka guru harus menyadari terdapat beragam strategi untuk mencapai tujuan yang tidak secara seragam diterapkan kepada seluruh peserta didik, tetapi mengacu pada karakteristik masing-masing peserta didik. Hal ini berimplikasi pada bagaimana guru memberikan pilihan-pilihan kepada peserta didik dari aspek konten, aspek proses, dan aspek produk pembelajaran.
Observasi awal menjadi kunci untuk mengetahui minat, bakat, kesukaan, hobi, gaya kognitif, dan pengetahuan awal peserta didik. Semakin guru memahami peserta didiknya, guru dapat membangun rasa percaya bahwa peserta didik memiliki kemampuan untuk bertumbuh sesuai fitrah masing-masing. Melalui hasil observasi awal, guru dapat memetakan karakteristik peserta didik di kelasnya untuk menentukan pilihan strategi yang tepat dalam pembelajaran kompleks dengan mengintegrasikan berbagai mata pelajaran.
Sebagai contoh di SMP Negeri 20 Tangerang Selatan, penerapan pembelajaran berdiferensiasi dilakukan berbasis proyek terintegrasi 8 mata pelajaran dalam satu tema besar. Pada pelaksanaannya, guru dapat memodifikasi konten pelajaran sesuai dengan minat peserta didik, memberikan pilihan cara kepada peserta didik untuk menyelesaikan tantangan dalam proses pembelajaran, serta memberikan pilihan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Pilihan-pilihan ini akan mengasah bakat minat peserta didik sambil menguasai pengetahuan sesuai arahan kurikulum.
Tidak seperti kurikulum 2013 sebelumnya yang sudah diatur oleh pemerintah, di Kurikulum Merdeka terjadi dalam sistem pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran SMP didesain secara tematik saat itu dan memberikan pilihan-pilihan kepada peserta didik terkait konten dalam bentuk konteks yang ingin dipelajari sebagai upaya pemahaman konsep. Selain itu, cara pembelajaran diserahkan kepada peserta didik. Mereka diperkenankan untuk memilih cara dalam memahami dan menyelesaikan masalah. Boleh secara berkelompok, boleh sendiri-sendiri sesuai dengan preferensi belajar masing-masing.
Terakhir adalah produk yang dihasilkan diserahkan kepada peserta didik masing-masing. Mereka dapat mengomunikasikan hasil penemuan mereka dalam bentuk presentasi, tulisan yang dimuat di surat kabar, atau konten youtube. Penekanan diferensiasi adalah bagaimana peserta didik diberikan kesempatan memilih sesuai dengan cara yang mereka sukai agar mereka memiliki rasa mampu terhadap tugas yang diberikan.
Karena pengembangan kurikulum berpusat pada satuan pendidikan, agar pembelajaran berdiferensiasi ini dapat dilakukan, dibutuhkan iklim kolaborasi yang baik antarguru untuk saling bertukar pikiran dan berinovasi. Guru-guru juga dituntut untuk senantiasa mencari ilmu untuk beradaptasi dengan karakteristik peserta didik yang beragam dan berubah setiap tahun ajaran. Guru juga diahrapkan beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan informasi agar proses perencanaan hingga evaluasi dapat dilakukan dengan mudah dan lebih efisien. Dengan adanya pembelajaran berdiferensiasi, profesi guru merupakan profesi yang membutuhkan upgrade ilmu terus menerus tidak kalah dengan profesi dokter. Guru bukan lagi sebagai pengajar tetapi sebagai desainer lingkungan belajar.
Dengan konsep pembelajaran berdiferensiasi, hal yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimana peran Perguruan Tinggi menghadapi perubahan paradigma ini? Jika dulu Kampus Pendidikan atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menjadi pioneer perubahan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah, maka saat ini LPTK harus beradaptasi dengan disrupsi yang terjadi di dunia pendidikan sebenarnya. Posisi LPTK bukan sebagai yang serba tahu tetapi juga harus belajar dari para guru yang juga cepat belajar atau bisa jadi lebih mampu mengikuti perubahan dibandingkan dengan dosen-dosen LPTK itu sendiri. Jangan sampai ada jurang komunikasi antara para praktisi dengan akademisi sehingga kajian-kajian pendidikan hanya menghiasi dan memenuhi perpustakaan saja.
Ilmu pendidikan adalah ilmu terapan yang perlu adaptif melihat perubahan yang terjadi di masyarakat. Pengembangan kurikulum memerlukan landasan sosiologis dan psikologis yang dinamis mengikuti dinamika peradaban. Jika di masa lalu guru-guru yang mengajar mendapatkan pengalaman belajar dengan guru sebelumnya sesuai zamannya, maka di masa ini guru-guru harus beradaptasi dengan karakteristik masyarakat, peradaban, kemajuan ilmu psikologi pendidikan, serta kemajuan teknologi yang dapat mempengaruhi bagaimana peserta didik belajar.
LPTK perlu menciptakan calon-calon pendidik yang adaptif dengan perubahan di masa depan yang berarti bukan hanya mengajarkan apa yang diketahui saat ini tetapi juga memberikan kesempatan kepada para calon pendidik untuk terbiasa dengan perubahan. Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) perlu dikonsepkan sebagai upaya dalam melakukan penelitian transformatif bukan hanya sebagai mata kuliah praktik semata. Dengan memanfaatkan momen KKN dan PPL sebagai upaya melaksanakan penelitian bersama dengan dosen, mereka dapat belajar beradaptasi di dunia kerja sambil berkontribusi dalam menyelesaikan masalah yang ada di satuan pendidikan.
Selama ini Participatory Action Research (PAR) merupakan penelitian transformatif untuk melakukan perubahan di masyarakat. PAR menjadi pendekatan penelitian yang diterapkan pada kegiatan KKN dan telah disosialisasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama sebagai metodologi penelitian dalam kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat agar dapat mentrasformasi budaya dan sosial. PAR adalah upaya agar masyarakat dapat membebaskan diri dari tirani dan berdikari memberdayakan diri demi kebaikan bersama. Filosofi serta pendekatan yang digunakan dalam PAR sangat cocok dengan Kurikulum Merdeka yang ingin memerdekakan para guru untuk mendesain pembelajaran secara mandiri demi memenuhi kebutuhan belajar peserta didiknya.
Steven Jacobs (2016) dalam artikelnya “The Use of Participatory Action Research within Education-Benefits to Stakeholders” berpendapat bahwa melalui PAR pengalaman guru dan siswa menjadi pusat kebijaksanaan dan memposisikan mereka sebagai arsitek penelitian, bukan sebagai obyek penelitian. Budaya sekolah berdasarkan prinsip PAR seperti partisipasi, kolaborasi, dan hubungan non-hierarki, mendorong peningkatan pertumbuhan dan penemuan.
Pada KKN dan PPL, peran dosen adalah membangun budaya tersebut serta berkontribusi menyosialisasikan kajian-kajian akademis di Perguruan tinggi ke tingkat satuan pendidikan sesuai kebutuhan para guru dan peserta didik. Dengan demikian, program pengabdian kepada masyarakat sebagai kewajiban tridarma para dosen harus berdampak kepada satuan pendidikan. Pembelajaran berdiferensiasi melalui PAR dapat dicapai secara radikal melalui pendampingan dalam program KKN dan PPL mahasiswa. Pada proses ini pula mahasiswa bertumbuh menjadi calon pendidik yang adaptif terhadap perubahan yang akan terjadi di masa depan disertai tuntutan-tututan professional yang menyertainya.