SPI-JAKARTA
Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan tingkat literasi paling rendah. Menurut Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, budaya literasi menurun pada generasi muda karena kurangnya koleksi buku dan jumlah penulisnya. Dari 273 juta penduduk Indonesia, hanya 28 juta buku yang tersedia di perpustakaan. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah kepemilikan ponsel yang mencapai 370 juta buah.
“Salah satu akar masalah dari kurangnya buku adalah kurangnya jumlah penulis di Indonesia. Saya bertanya ke Perpustakaan Nasional, ini kekurangan buku atau tidak ada penulis? Ternyata tidak ada penulis, penulisnya itu-itu saja,” kata Gong dalam webinar bertajuk “Strategi Membangun Budaya Literasi pada Generasi Alfa”, Rabu (25/5).
Webinar ini merupakan seri ke-3 dari 7 webinar nasional yang diadakan Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) sebagai upaya menumbuhkan budaya literasi pada generasi muda. Hadir pula pada acara tersebut: Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Lentera Pustaka, Dr. (c) Syarifudin Yunus, M.Pd.; Pustakawan UI, Kurniawati Yuli Pratiwi, S.Hum.; dan Pustakawan Binus School Semarang, David Judha Siagian, S.Hum.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UI, Prof. Dr. rer. nat. Abdul Haris, mengutip pernyataan Strauss dan Howe dalam buku Generations: the history of America’s future bahwa perubahan generasi terjadi pada masyarakat sekitar 20 tahun sekali. Setiap generasi memiliki karakteristik yang berpengaruh pada cara mereka belajar dan mengelola informasi. Menurut Mark McCrindle, generasi Alfa yang lahir pada 2011–2025 adalah generasi yang dekat dengan teknologi digital dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi khusus untuk membentuk budaya literasi pada generasi Alfa.
“Budaya literasi sejatinya menjadi tanggung jawab setiap orang dan harus dimulai sejak dini. Hal ini terkait dengan pola pembelajaran di sekolah dan ketersediaan bahan bacaan di perpustakaan maupun taman bacaan masyarakat. Menghadapi generasi Alfa dengan pengaruh teknologi yang kuat, pustakawan dan komunitas literasi perlu mengembangkan strategi yang lebih masif dan terstruktur agar generasi tersebut memiliki budaya literasi,” kata Prof. Haris.
Untuk menumbuhkan budaya literasi pada generasi muda, Syarifuddin membangun dan mengelola Taman Bacaan Masyarakat Lentera di kaki Gunung Salak. Menurut Syarifuddin, taman bacaan harus inklusif agar bertahan dan tetap dikunjungi masyarakat. Pendirian taman bacaan juga didasari alasan yang kuat supaya masyarakat merasakan pentingnya kehadiran taman bacaan tersebut.
Ada tiga poin penting agar taman bacaan tetap bertahan di masyarakat, yaitu pembaca, buku, dan komitmen pengelola. Kunci lain yang membuat budaya literasi tumbuh adalah berliterasi dengan asyik dan menyenangkan. Syarifuddin mengajak anak-anak membaca di alam terbuka, seperti sungai dan jembatan, agar tercipta suasana yang berbeda. “Semua orang paham baca buku itu penting. Semua orang juga paham baca buku adalah jendela dunia. Namun, masalahnya, baca buku selalu tidak asyik. Saya menjadikan baca buku itu asyik dengan cara ini,” kata Syarifuddin.
Minat baca generasi Alfa dapat ditumbuhkan dengan kegiatan yang menyenangkan, seperti bercerita. Dengan bercerita, interaksi dan ikatan dengan subjek target cerita lebih kuat. Kegiatan ini juga mengembangkan kemampuan bahasa, imajinasi dan kreativitas, serta karakter dan emosi. Selain itu, peningkatan minat baca generasi Alfa bisa dilakukan melalui media digital. Media digital cukup potensial sebagai media literasi karena lebih ringkas, interaktif, dan didukung dengan format audio dan animasi—meski tidak senyaman media cetak. Sebagai generasi yang tumbuh bersama gadget-nya, generasi Alfa dapat memanfaatkan tren buku digital yang terus meningkat beberapa tahun terakhir.