اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ
“Kesungguhanmu meraih apa yang telah dijaminkan untukmu dan kelalaianmu mengerjakan apa yang dituntut darimu merupakan bukti padamnya mata hati.”
Ada dua hal yg disebutin dalam aforisme ini, “Ijtihad” dan “Taqshir”.
“IJTIHĀD” berarti sungguh-sungguh, giat tanpa kenal letih dan lelah, mengerahkan seluruh kekuatan untuk memperoleh sesuatu. (Jadi bukan ijtihadnya para fuqaha yaa… Ini ijtihad dalam arti generik). Lalu “TAQSHĪR” ialah mengerjakan sesuatu setengah-setengah tanpa keseriusan, atau nganggap remeh suatu kerjaan.
Kamu tuh (saya juga hehe) kadang keliru. Bukannya mati-matian ngerjain yang harus dikerjain dengan serius, eh malah abis-abisan ngerjain yang gak perlu. Atau, kita nyepelein yang seharusnya diseriusin, trus mati-matian ngerjain yang gak perlu. Mungkin kita bisa sebut sebagai disorientasi yaa..
Bagi kamu yang udah belajar Filosofi Teras (akhir-akhir ini lagi tenar nih filosofi), mestinya ngerti pembagian ini: ada yg bisa dikendaliin, ada yang g bisa dikendaliin. Pikiran, keinginan, perasaan orang lain berada di luar kendali kita. Begitu juga apa pun yang terjadi di luar diri kita entah bencana alam, sikap dan tanggapan orang sama kamu, situasi politik, dan sejenisnya: semua berada di luar kendali kamu. Yang ada dalam kendalimu adalah pikiranmu, perasaanmu, dan gimana kamu memberikan tanggapan terhadap situasi yg kamu hadepin.
Manusia tuh, kata filsuf Teras, sering keliru dan akhirnya jadi repot sendiri. Kamu tuh sering ngabisin waktu dan tenaga buat ngurusin apa yang g bisa dikendaliin. “Eh, kalau gw begini, kira-kira gimana ya tanggapan orang”. Lha, tanggapan orang lain kok jadi pertimbangan? Sementara jumlah orang sangat banyak. Kamu absen tuh satu per satu kemungkinan tanggapan orang per orang, lha… kapan melakukan sesuatunya? Lebih dari itu, perasaanmu jadi labil, tergantung gimana penilaian orang lain yang seabrek itu.
Maka Filosofi teras mendorong kamu lebih peduli pada apa yang bisa dikendalikan saja. Apa itu? Ya dirimu sendiri, pikiran dan perasaanmu itulah yang bisa dikendalikan. Saat ada temenmu yang nyinyir, ada perasaan tertentu dalam dirimu, trus perasaan itu jadi bahan tindakan tanggapan kamu: dilawan, dibiarin, atau dibalas dengan senyuman nih? Kamu bisa milih untuk dirimu apa tanggapan yg harus diberikan?
Fokuslah sama yang bisa dikendaliin, abaikan yang g bisa dikendaliin. Atau kalau pake aforisme ini, ijtihadlah pada yang bisa dikendalikan, taqshirlah sama yang g bisa dikendaliin.
Kalau kebalik-balik, itu namanya “kelira” (kelira= keliru tingkat tinggi, nyebut keliru aja udah keliru hehehe). Akibatnya… kamu akan diserang rasa cemas terus-menerus. Bayangin aja kamu harus memuaskan semua pendapat orang laen. Trus, kamu juga g akan pernah mencapai apa yang jadi tujuanmu sendiri. Seluruh hidupmu dikendaliin sama tujuan banyak orang. Nah, saat lebih serius ngejar tujuan orang lain, namun abai ngejar tujuanmu sendiri inilah yang disebut Ibn Athaillah sebagai buta mata hatinya.
Jadi gimana dong? Operasi katarak aja. Kelupasin tuh penghalang di mata hatimu, biar orientasinya jelas. Membaca aforisme-aforisme hikam kayak gini adalah salah satu cara mengoperasi katarak mata batinmu itu.
Fokuslah pada urusanmu, g usah peduli pada komentar orang lain. Kesannya egois banget ya? Sebenarnya sih g. Kalau saya jadi sopir bus, fokuslah menjadi sopir: nyupir aja yang bener, gunakan pertimbangan sendiri agar selamet sampe tujuan. Kalau sopir bus ngiri dan ngurusin kerjaan orang laen, bisa-bisa nabrak. Orang lain juga sama kok, pasti focus pada urusannya sendiri. Kalau ada orang lain yang bawel, abaikan aja, g usah dimasukin ati.
Di tingkat yang lebih tinggi, secara ruhani, aforisme ini ngomongin dua hal: “yang telah dijaminkan untukmu”, dan “yang dituntut darimu”.
Misalnya kamu sakit, trus minta obat sama dokter,”Setelah Anda minum obat ini, 1 jam kemudian saya jamin Anda sembuh”. Trus kamu beli tuh obatnya..eeeh.. bukannya dimunum obatnya kamu malah sibuk ngomentarin cara dokter itu melayani kamu, ngantrinya yang buat kamu capek, dan laennya. 1 jam kemudian, sakitmu tambah parah. Tambah-tambah deh kamu sumpahin tuh dokter. Padahal salahnya bukan pada dokter, tapi pada kamu: minumlah obatnya segera. Itu yang dituntut darimu, barulah kamu bisa sembuh.
Kalau dikaitkan sama Tuhan, aforisme ini lebih serius lagi. Tapi karena saya hanya baca secara iseng, jadi g bakal terlalu dalem ngomongin ruhani.
Tuhan tuh udah ngasih tahu di Kitab Suci sejumlah jaminan, misalnya “kalau bertakwa, pasti diberi rejeki tanpa terduga”. Lha, kamu kocak saat menggugat keadilan Tuhan, “Mana rejeki tak terduga itu? Tiap hari saya hanya dapat sesuai dengan apa yang saya usahakan. Itu juga susah payah. Mana janjimu?” Lha, takwanya aja belum, kok sudah nuntut apa yang dijaminkan Tuhan.
Tuhan juga menjaminkan hadiah surga buat kita, asalkan kita berperilaku layak diberi hadiah. Kocaknya kamu ribut ngomongin surga, ngebayangin bidadarinya, dan kenikmatan lain, sementara kamu lupa ngerjain yang membuatmu layak diberi hadiah. Parahnya lagi, kamu bilang ke orang lain yg g sepaham sebagai pasti masuk neraka.
Woi, surga itu udah pasti, gak usah dibahas lagi. Yg gak pasti itu.. kamu bisa dapet hadiah surga apa nggak. Mending urusin dirimu sendiri deh…
So, Janganlah “kelira”!
Bambang Q-Anees, Penulis Buku, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.