إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
Keinginan untuk lepas dari urusan duniawi, padahal Allah membekalimu dengan sarana penghidupan (asbab), adalah syahwat yang samar. Sedangkan keinginanmu untuk mendapatkan sarana penghidupan, padahal Allah telah melepaskanmu dari urusan duniawi (Tajrid) adalah suatu kemunduran dari cita-cita luhur.
Ini aforisme yang rumit. Mari kita pahami perlahan-lahan.
Ada dua istilah kunci pada aforisme ini: Asbab dan Tajrid.
Asbab itu sejumlah sebab. Tajrid itu kosong dari apapun. Asbab berarti posisi seseorang saat harus berusaha keras, baru mendapatkan hasil. Sementara tajrīd itu posisi orang yang tanpa harus usaha sudah mendapatkan apa yang diinginkan.
Mmm… Masih rumit ya? Saya kasih kalimat lain deh. Rumus hidupnya orang yang asbab itu “orang mencari uang”. Sementara Rumus hidupnya orang yang tajrid itu “uang mencari orang”.
Kalau sudah dapat pengertian yang terkait uang pasti otakmu jadi langsung cerdas hehehe… Lalu secara Otomatis air liurmu langsung keluar tanpa sadar dari mulut. Trus muncul angan-angan, “enak banget yaa kalau gw menjadi orang tajrid, tinggal duduk manis uang datang sendiri.” Atau muncul keluhan, “Lho, ternyata ada ya orang di level tajrid, sementara saya sudah puluhan tahun terus aja di level asbab, banting tulaang mulu”. Atau muncul keluhan dalam bentuk doa, “Ya Allah, sudah puluhan tahun Kau uji gw dengan kemiskinan, kali-kali kek Kau uji aku dengan kekayaan”.
Persis di dalam situasi keluhan dan keirian inilah maksud dari aforisme ini.
Aforisme ini soal posisi dan perilakunya. Kalau posisimu di “Asbab”, perilakunya yaaa harus terus berusaha. Jangan kendor. Jangan merasa lelah. Teruslah ciptakan sebab-sebab untuk datangnya kebahagiaan dan kemakmuran. Kalau kamu berada di posisi “Tajrid”, perilakunya yaaa harus bersyukur, terus tawakkal, mendoakan orang lain, memberikan bantuan pada yang asbab.
Lucunya banyak orang yang g sadar posisi, lalu mengambil perilaku seperti orang yang posisinya di atas dia. Kamu (juga saya sebenarnya) ada di level asbab … eh…berlagak jadi orang-orang “tajrid”. Gak lagi berusaha, hanya berdoa dengan harapan Tuhan akan transfer uang secara tiba-tiba. Lalu, kalau kamu udah di posisi tajrid, ya jangan berperilaku seperti pada posisi asbab dong. Bantuin tuh yg masih di level asbab!
Kalau kamu ada di posisi asbab, tapi kelakuanmu kayak orang-orang tajrid, itu namanya kegeeran spiritual, over pede. Sebaliknya, kalau kamu udah ada di posisi “tajrid”, tapi kelakuanmu kayak orang-orang asbab: itu nurunin levelmu.
Pertanyaan dari aforisme ini sangat sederhana: di mana posisimu?
Pesannya juga simple: lakukanlah sesuai posisimu.
Kalau levelmu masih belajar, jangan berceramah seperti ulama besar lantas memberi fatwa, nge-jugde kafir pula. Itu Syahwat khofiyyah, syahwat yang tipis. Sepertinya bukan syahwat, padahal syahwat. Sepertinya baik, padahal g ada kebaikan di dalamnya –terutama untuk perkembangan kepribadianmu. Ya, kepribadianmu jadi g bisa dewasa.
Kamu bisa saja protes, “Kan harus menyampaikan walaupun satu ayat?” Tentu saja, perintah “balligu ‘anni walaw ayat” ini sangat benar, tapi bukan berarti kamu jadi harus lupa posisi. Kalau kamu lupa posisi, perkembangan dirimu akan ancur. Kita ambil contoh sederhana deh. Anak-anak balita makannya bubur, orang tua bisa makan nasi gila atau seblak level lima. Kalau anak-anak balita maksa makan nasi gila, pencernaannya bakalan ancur.
Di tingkat pemahaman yang lebih tinggi lagi, asbab dan tajrid ini dimaknai sebagai tingkatan ruhani. Di sekitar kita, pasti ada kyai dan syaikh-syaikh yang kerjaannya ngajar ngaji mulu, tapi kehidupannya subur makmur: tajir melintir. Sementara kebanyakan orang, juga kamu dan saya, udah melintir-melintir bekerja siang malem, kondisinya tetap melintir.
Contoh orang di posisi Tajrid, kalau liat ayat al-Quran, kayak Siti Maryam yang dapat kiriman makanan dari malaikat. Padahal Siti Maryam ada di kamar tertutup dan terkunci. Lalu contoh orang di posisi asbab, siapa?….Kamu… yaaa…. kamuuu…. Hehehe…juga saya.
Nah, sampai di sini masih ada sisa kebingungan. Kalo orang asbab ngiri sama orang tajrid sih bisa dimengerti: siapa sih yang g mau dikejar uang. Tapi kalau orang tajrid ngiri sama yang asbab, masa iya sih?
Ada satu hal yang mesti dicermati mengenai kondisi orang tajrid. Orang di posisi tajrid secara ruhani itu ternyata g mudah. Dia bener-bener hanya ngandelin pemberian Tuhan aja. Sabarnya harus terus-terusan, tawakkalnya harus beneran.. Orang tajrid harus benar-benar g boleh mengharap pemberian dari manusia, dia harus hanya menunggu kiriman dari Allah.
Nah, saat mengalami kesusahan puncak, transfer dari Allah g datang-datang sementara anak harus bayaran sekolah, orang tajrid bisa jadi ngiri sama yang asbab, “Coba kalau dulu g brenti kerja..” atau “kenapa si anu yg pernah gw tolong g bantu gw ya?” Kalau udah begini, level tajridnya jadi turun.
Orang Tajrid itu kayak Nabi Muhammad. Kamu pasti pernah denger kisah Nabi Muhammad yang ngeganjel perutnya ama batu. Bliau saat itu laper banget, tapi gak ada yang bisa dimakan. Kamu pasti nanya, “Drakor banget sih… Kenapa g minta aja ama sahabat-sahabatnya?” Itu die, orang tajrid gak boleh meminta ama orang lain. Orang tajrid harus sabar nunggu pemberian Allah. Nunggu Allah ngegerakin hati orang-orang di sekitarnya ngeh. Nunggu takdirNya.
Kalau udah di level tajrid tapi masih minta sama selain Allah, ia dicap sebagai tamak (thoma’). Ngeri g tuh? Kalau level kamu (juga saya) yang masih asbab, tamak itu kalau masih aja nafsu nimbun harta padahal hartanya udah numpuk. Nah ini … cuman ngarep dari orang aja dianggap tamak. Berat kan? Saking beratnya berada di level tajrid, ada banyak orang yang g tahan dan ngiri ama yang di level asbab.
Tapi lucunya, ada banyak orang yang gak tahu posisi lalu berlagak jadi tajrid. Dia nanya ama kyai, “apa sih doanya biar rejeki lancar jaya? Kok bisa ya, kyai gak punya kerjaan tapi pesantren semegah ini?”
Kyai itu jawab, “kalau saya sih ngedawamin baca surat Waq’iah”.
Orang itu lalu brenti kerja dan baca Waqiah tiap hari sekian balikan. Sialnya, tetep aja rejekinya seret, “Kok baca Waqi’ah tetep aja gak ada perubahan sih? Sialan nih kyai…”
Wooii… levelmu masih asbab, blom tajrid. Tahu diri dong! Level asbab itu… harus berusaha keras sambil bersandar pada Allah. Sementara level tajrid itu hanya bersandar pada Allah.
Jadi, sadarilah posisimu. Jangan Lupa itu!
Bambang Q-Anees, Penulis Buku dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.