Serial Iseng Baca Al-Hikam (1): Cara Pikir Keliru

oleh

 مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

Di antara ciri bersandar kepada amal adalah berkurangnya harapan ketika terjadi kesalahan

Ini Hikam pertama. Gimana ya cara memahaminya?

Kita mulai dari kata“bersandar” deh. Saat kamu lelah, kamu bersandar pada dinding di dekatmu duduk. Kamu merasa nyaman, karena punggungmu yang sudah capek mendapat topangan. Saat itu kamu mengandalkan dinding itu untuk pelepasan lelahmu.

Di sini “bersandar” sama dengan “mengandalkan”. Saat kamu mengandalkan sesuatu, berarti kamu sedang bersandar pada sesuatu itu.

Mengandalkan sesuatu berarti menganggap sesuatu itu sebagai sebab. Dinding itu jadi penyebab kenyamananmu saat melepas lelah. Dinding itu jadi sumber kenyamananmu. Nah, kata sebab di sini diartikan sebagai sumber bagi munculnya sesuatu yang lain.

Tentu banyak sekali yang selama ini kamu anggap sebagai sebab dari apa yang kamu dapatkan. Kamu berusaha, lalu berhasil. Kamu belajar tekun, lalu lulus ujian dengan nilai bagus. Kita rajin berdagang, lalu untung dan kaya raya. Kamu pedekate, trus nembak, eh… si doi langsung kelepek-klepek…Jadian deh.Tentu ada banyak lagi contoh lainnya.

Kita lihat bentuk lain, ada yang rajin shalat Dhuha, trus dapat rejeki banyak. Muncullah kesimpulan, Amalan shalat Dhuhah menjadi sumber munculnya rejeki melimpah. Ini yang disebut bersandar pada amal (shalat Dhuha). Contoh lain, kalau rajin puasa Senin Kamis hidupnya akan dipenuhi keberuntungan, kayak Habibie. Apa lagi contoh lain yaa…? Kalau kita baik pada orang lain, pasti orang lain juga baek pada kita.

Semua tindakan itu, dipandang sebagai sumber dari munculnya apa yang kamu harapkan. Tentulah, yang kamu harapkan adalah kebahagiaan. Lau muncullah kesimpulan, semua hasil yang membahagiakan itu itu semata-mata bersumber dari apa yang kamu lakukan.

Inilah yang dimaksud dengan I’timad ‘alal ‘amal (bersandar kepada amal)

Apa salahnya prinsip I’timad ‘alal ‘amal?

Gak ada yang salah. Itu prinsip yang bener kok. Kan kita sering mendengar kalimat man jadda wajada, siapa sungguh-sungguh berusaha, pasti berhasil. Atau No Succes No pay, gak ada kesuksen tanpa bayaran usaha. Semua itu benar.Yang sebaliknya justru yang keliru. Males-malesan tidaklah akan menghasilkan sesuatu, keengganan menanggung resiko berjuang akan membuatmu gak dapat apa-apa.

Tapi mari kita bayangkan satu hal. Kamu bersandar pada dinding, eh dindingnya rapuh.. gubraak!… jatuh. Kamu kecewa. Kamu belajar serius untuk ujian, eh… soalnya berbeda dari yang dihafalkan, zonk! Atau mendadak kamu sakit, akhirnya gak bisa ujian. Zonk juga. Kamu pedekate, udah kliatan yang diincer menunjukkan ketertarikan, eh dia sekeluarga pindah kota. Zonk. Dan semua itu mengecewakan.

Saat itu kamu putus asa. Harapan kamu jadi menipis. Bahasa Arabnya harapan menipis itu Nuqshoni ar-Raja’

Apa yang terjadi setelah itu? Kepercayaan diri kamu pada apa yang kamu lakukan jadi lemah. Hasilnya, kamu jadi apatis, mending gak usah usaha deh. Mending gak usah menghafal deh, lebih jauh lagi, gak usah punya harapan deh. Berabe!

Yang lebih repot lagi kalau kamu mengandalkan ibadah kamu sebagai penentu kebahagiaan. Shalat dhuha sumber rejeki, puasa Senin Kamis sumber keberuntungan, dan seterusnya-dan seterusnya. Awalnya sih sepertinya ada hubungan kausal antara Shalat Dhuha dan rejeki yang moncer, suatu ketika rejekimu seret.

Muncullah kesimpulan sesat, “shalat Dhuha tak ada gunanya, mending gak usah shalat dhuha”. Kalau udah begini, biasanya merembet, setelah gak usah shalat Dhuha beranak pinak jadi: gak usah shalat deh, gak usah puasa, Tuhan gak ada, gak usah berbuat baik deh, dan yang laennya.

Jadi, kata Ibn Athoillah: resiko mengandalkan amal adalah kamu gampang putus asa. Ketenanganmu tergantung pada hasil yang kamu bayangkan dapat muncul dari kerjaanmu itu. Saat yang kamu bayangkan gak muncul, kamu kecewa.

Kalau begitu, kita gak usah beramal aja? Ini sesat menyimpulkan. Perbaikilah cara pikirmu. Inilah kesimpulan yang benar. Itulah yang diinginkan Ibn Athaillah untuk kamu lakukan.

Pertama, jangan menganggap bahwa pekerjaan dan amal kita menentukan segala-galanya. Jangan anggap apa yang kamu lakukan itu, jadi satu-satunya sumber keberhasilan dan kebahagiaanmu. Terbukalah pada kemungkinan lain, biar gak gampang kecewa.

Kedua, Banyak factor dan variabel dalam hidup ini yang di luar kontrol kita. Faktor-faktor lain itu bisa membelokkan hubungan kausal sebab-akibat. Sepeerti contoh tadi, “pedekate dengan jurus maut…udah mau jadian… eh, dia pindah ke kota lain”.

Ketiga, bersedia menerima kehidupan secara utuh. Apa maksudnya? Hidup ini gak sempurna: kadang berhasil, seringnya sih… gagal. Mengharap keberhasilan, tentu saja harus. Tapi saat kamu menerima kegagalan, santai aja. Saat kamu gagal, pikirkanlah pasti ada faktor lain di luar perhitunganmu, atau belom saatnya. Saat kamu gagal, tertawalah seperti kamu memilih Durian: kadang dapat yang manis, kadang dapat yang hambar. Cari lagi aja durian yang lain! (kalau duitnya masih ada).

Lalu, kita harus bersandar ke apa, ke siapa dong?

Selain berusaha semaksimal mungkin, bersandarlah pada yang gak mungkin roboh.

Dialah Allah!!!

Bambang Q-Anees, Penulis Buku dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.