Saatnya Merayakan Perbedaan, Merawat Keberagaman 

oleh

 

Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

“Dia yang melihat yang tak terbatas dalam segala sesuatu, melihat Tuhan” [William Blake]

SPI-BANDUNG-Kehidupan tetap saja brutal, dan manusia semakin sok tahu bahkan kurang ajar. 2 tahun lebih pandemi yang membatasi gerak dan meringkus ruang sosial, tak mengajari kita untuk lebih rendah hati dan tahu diri.

2 tahun lebih pandemi yang menyudutkan manusia ke ruang sunyi, tak sanggup memberi pelajaran berharga. Yang nampak, ketika kran PPKM dibuka, manusia tetaplah dengan watak aslinya. Dua tahun lebih, kita menyangka manusia bisa lebih peka dan bela rasa. Senyatanya, ia tetaplah sosok “yang merasa lebih tinggi”. Keyakinan dan ideologi yang didaku ditahbis sebagai senjata untuk menista siapa saja yang dianggap beda.

Yang tumbuh dan terus berkembang di tengah-tengah kehidupan sosial kita tetaplah pusaran “kami”. “Kami” adalah final, mustahil bertukar dan lapang dada terhadap mereka atau dia yang beda. Pandemi harusnya lebih menajamkan nurani bahwa yang beda bukanlah musuh atau ancaman, melainkan tantangan: tantangan untuk mengeksplorasi kecerdasan lokal, agar setiap kita bisa berkontribusi bagi kehidupan di planet bumi ini secara lebih berarti.

2 tahun lebih kita dihajar pandemi, kita masih memelihara bahkan menghidupi berhala keberimanan yang bersarang di tubuh kita sendiri. Keberimanan kita menjadi berhala, manakala kita mengira seluruh kebenaran –total, tanpa sisa- sudah ada di tangan; dan di luar kita, keyakinan yang berbeda adalah kesalahan.

Keimanan yang menjadi berhala sebenarnya adalah mengkerdilkan Tuhan. Seolah Tuhan hanya berpihak dan menjadi milik keyakinan tertentu. Kita lupa, bahwa seluruh kehidupan ciptaan Tuhan ini terdiri atas perbedaan, maka tak mungkin perbedaan merupakan kesalahan. Mungkin benar jika ada saran untuk beriman secara lebih puitis dan filosofis: yaitu, berusaha melihat lebih jauh dari yang terlihat; lebih terbuka daripada yang tersurat.

Keberimanan yang menjadi berhala telah menjadikan kita seumpama para diktator, kaum fanatik, dan para demagog, yang tak menyisakan keraguan. Kita betul-betul “tahu” dan “merasa tahu”. “Merasa tahu” bahkan “tahu” telah menjadi penyebab yang menihilkan keinginan untuk mencari tahu tentang hal lain.

Keberimanan yang menjadi berhala, mungkin inilah yang menyebabkan kita gagal sebagai wakil Tuhan di dunia. Yudaisme melalui ajarannya yang disebut dengan Tikkun Olam memandang “wakil Tuhan” sebagai cara “untuk memperbaiki dunia.” Jika kita dapat melihat apa yang perlu diperbaiki dan disembuhkan di dunia, kita telah menemukan apa yang Tuhan panggil untuk kita penuhi dalam nama-Nya. Namun, jika kita mendapati diri kita hanya melihat apa yang rusak dan salah dengan dunia, maka kita sendirilah yang perlu disembuhkan. Kita adalah bagian dari dunia ini, jadi ketika kita mengubah diri kita sendiri, dunia juga berubah.

Allahu a’lam[]