Publik perguruan tinggi di Indonesia dihangatkan perbincangan mengenai Permendikbud No 92 Tahun 2014 tentang Syarat Menjadi Profesor, di antaranya wajib menulis di jurnal internasional bereputasi yang terindeks oleh Web of Science, Scopus, Microsoft Academic Search atau lainnya sesuai pertimbangan Ditjen Dikti. Di antara lembaga pengindeks itu, Scopus paling menjadi sorotan.
Persyaratan itu telah mendorong hidupnya atmosfer akademik di mana para calon profesor menjadi melek jurnal internasional bereputasi dan berkompetisi menulis yang berstandar ilmiah tinggi. Di sisi lain, syarat itu dirasakan memberatkan sehingga menjadi profesor semakin sulit walaupun jumlah angka kredit telah mencukupi.
Dampaknya, produksi profesor menjadi tersendat, sementara yang pensiun terus terjadi setiap tahun. Jumlah profesor di Indonesia yang 5.097 orang, kalah oleh beberapa negara kecil di ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Jumlah profesor hingga Oktober 2015 hanya 2,3 persen dari total 220.426 dosen di seluruh PT di Indonesia. Rasio profesor dan mahasiswa pun hanya 1:1.000, masih jauh dari ideal.
Gugatan
Beratnya persyaratan jurnal bereputasi internasional semakin bermasalah dengan munculnya pandangan bahwa kapitalisme pengetahuan menjadi kekuatan bisnis global mengendalikan administrasi ketenagaan akademik di Indonesia. Belakangan, syarat menulis di jurnal terindeks Scopus sabagai syarat menjadi guru besar mulai menuai gugatan.
Untuk menjadi profesor di Indonesia mengapa harus “ditentukan” oleh kekuatan akademik global yang berorientasi bisnis seperti Scopus yang berbayar mahal? Bukan dari kemanfaatan ilmu terhadap lingkungan masyarakat sekitar dan kepentingan pembangunan nasional yang diuji para ilmuwan kita sendiri.
Ukuran kemanfaatan ilmu tentu harus untuk transformasi masyarakat setempat dan kemajuan bangsa, bukan untuk gagah-gahahan dimuat di jurnal elite bergengsi sambil mayoritas masyarakat akademik kita tidak membacanya karena akses terbatas, soal bahasa, materi terlalu spesifik atau tulisannya yang sangat abstrak-teoretik.
Buat apa karya ilmiah eksklusif-bermutu semakin banyak, tapi tidak menyumbangkan transformasi konkret bagi masyarakat dan bangsanya. Sejauh mana artikel atau hasil riset yang dimuat itu telah mendorong riset eksploratif, memengaruhi perkembangan tradisi intelektual, dinamika pemikiran, dan kemajuan ilmu di Indonesia?
Dalam bukunya yang menyengat, The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992), Arnold menyebutkan delapan dosa besar sains modern yang berkaitan erat satu sama lain yang tiga di antaranya menjadi ciri khas tulisan di jurnal ilmiah: (1) orientasi administratif, mekanistis dan materialis yang eksklusif; (2) spesialisasi berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan sosial kemanusiaan, komunal, dan global, (3) melayani pesanan sesuai kebutuhan publikasi.
Bagaimana tulisan itu akan berpengaruh bila motif menulisnya saja hanya sebagai syarat formal pengajuan jabatan profesor dengan bayangan tunjangan besar? Bukan berangkat dari kegelisahan intelektual, keresahan pemikiran, kegalauan pengetahuan atau pencarian kebenaran?
PTKI dan Scopus
Di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) di bawah Kementerian Agama, menjadi guru besar memiliki misi yang lebih luhur dan mulia. Profesor ilmu agama memiliki kewajiban moral menyelaraskan agama dan ilmu pengetahuan, menggali ilmu pengetahuan untuk memperkuat keyakinan kepada Tuhan, menjelaskan pentingnya agama dalam modernitas dan kehidupan untuk membentuk kesalehan generasi modern.
Bagi profesor PTKI, ilmu bukan untuk ilmu an sich tapi untuk mencari nilai, mengungkap makna, dan menegakkan kebenaran walaupun harus bertentangan dengan kredo konvensi ilmiah dalam tradisi positivisme. Misi adiluhung ini tak terkait keharusan menulis karya ilmiah di jurnal dengan aturan teknis penulisannya yang administratif itu.
Namun harus dinyatakan, syarat jurnal Scopus tidaklah sepenuhnya salah. Syarat itu telah membangkitkan dosen PTKI dari tidurnya, menggairahkan penelitian bermutu, menulis berkelas dunia dan berkompetisi di atas panggung ilmu pengetahuan global.
Persoalannya, bila pemuatan tulisan di jurnal terindeks Scopus sebagai syarat mutlak dan kunci untuk menjadi profesor. Syarat itu bisa menjadi jagal yang menentukan nasib seorang dosen yang sudah puluhan tahun berdedikasi dan mengabdi dari mendapatkan haknya menjadi guru besar.
Roh ilmu calon profesor yang layak mendapatkannya sudah menyebar dan mempengaruhi banyak murid dan mahasiswa di kampus-kampus, dari kuliah mencerahkan, di buku yang dibaca mahasiswa, masuk di disertasi melalui proses bimbingan calon doktor, di rak perpustakaan atau bahkan bekerja di masyarakat melalui keterlibatan dosen dalam aktivitas sosial, agama, dan kebudayaan.
Di situlah keprofesoran mereka, yaitu pada jasa dan manfaatnya ke murid, mahasiswa, perguruan tinggi, perkembangan ilmu, dan bahkan ke lingkungan masyarakat hatta melalui pengajian ibu-ibu di masjid dan majelis taklim sekalipun.
Adilkah bila hak keprofesoran mereka yang telah berjasa melalui modal kapital dan sosial keilmuan itu, legalitas dan validitasnya tiba-tiba berada di benua Eropa sana melalui menara gading dan palu godam bernama Scopus? Bila dirasakan tidak adil, akankah syarat itu dipertahankan?
Alternatif
Bila perlunya bentuk lain disepakati, ada beberapa alternatif yang lebih relevan diajukan sebagai syarat mendapatkan gelar profesor. Syarat ini sebagai implementasi dari tri dharma perguruan tinggi.
Pertama, jumlah karya tulis dan orisinalitasnya. Ini syarat dasar. Jumlah karya tulis dan orisinalitasnya berupa buku, hasil riset, makalah seminar, tulisan jurnal, artikel koran, dan sebagainya adalah ukuran seorang dosen layak menjadi profesor atau tidak.
Juga mengukur apakah seorang calon profesor produktif menulis menghasilkan karya atau tidak. Syarat jumlah tulisan di jurnal terakreditasi cukup salah satunya saja (bukan syarat utama) sebagai karya tulis ilmiah.
Kedua, sitasisasi di Google Scholar. Jumlah sitasi di Google Scholar menunjukkan pengaruh keilmuan seseorang terhadap orang lain. Tapi, itu hanyalah salah satu saja bentuk pengaruh yang terditeksi mesin Google.
Pengaruh keilmuan seseorang jauh lebih luas dari sekadar kutipan yang terdeteksi dan tidak semua orang menulis karya ilmiah diunggah ke internet. Namun, sebagai syarat formal, sitasi di Google Scholar bisa dijadikan salah satu syarat seorang calon profesor mendapatkan haknya dengan penentuan jumlah sitasi yang adil dan proporsional sesuai bidang ilmunya.
Ketiga, pengujian lisan. Dari jumlah karya yang dihasilkan calon profesor bisa diuji kemampuannya secara lisan oleh tim khusus penguji tingkat nasional. Semacam ujian disertasi.
Ujian ini sekaligus untuk membuktikan apakah karyanya itu hasil sendiri atau pesanan yang ditulis orang lain. Jangan salah, banyak buku beredar termasuk karya para profesor yang bukan karya orisinil mereka. Setelah menjadi profesor mereka tidak menulis lagi, tetapi mendapat tunjangan yang besar.
Keempat, kiprahnya dalam lembaga profesional atau pengabdian masyarakat. Syarat ini ukuran pembuktian ilmunya bermanfaat atau tidak bagi organisasi profesi atau lingkungan masyarakat. Bisa jadi seorang dosen sangat berjasa di lembaga profesi atau di masyakarat melalui aktivitasnya atau pencerahan ilmu yang diberikannya, tapi ia kurang banyak menulis serius atau ketat secara ilmiah.
Apakah jenis dosen aktivis sosial ini tidak berhak menyandang gelar profesor hanya karena kiprahnya lebih banyak di lembaga profesi atau dalam transformasi masyarakat yang konkret dan riil?
Kelima, integritas. Ilmu itu ada ruhnya dalam bentuk akhlak dan moral. Karena profesor adalah jabatan akademik tertinggi, ia mesti memiliki moralitas ilmu. Moralitas ilmu cukup diukur misalnya dari tiga aspek: tidak menyalahgunakan ilmunya untuk keburukan dan kejahatan, korupsi, dan plagiasi. Bila salah satu ini dilakukan, tidak layak menyandang gelar profesor dan bila sudah memilikinya, gelarnya bisa dicabut.
Kelima syarat ini relevan dengan status dan jabatannya sebagai profesor. Dengan kelimat syarat ini, profesor akan lebih berwibawa secara keilmuan dan kepribadian. Dengan syarat seperti itu, menjadi profesor bukan soal administrasi tapi produktifitas, kapasitas, wibawa, dan pengaruhnya bagi dunia profesi dan lingkungan masyarakat.
Moeflich Hasbullah, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Alumni The Australian National University Canberra.