SPI-BOGOR
Prof Euis Sunarti, Guru Besar IPB University menyebut, terdapat dua tipe perempuan yang bekerja. Pertama karena semangat dan aspirasinya dan kedua karena terpaksa. Ibu rumah tangga juga demikian, ada yang karena pilihan dan mengandalkan pendapatan suami. Ada pula yang terpaksa, karena ada anggota keluarga yang membutuhkan perhatian.
Pakar di bidang Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University ini menyampaikan, hal ini akan berbeda dari segi fenomena dan stressornya. Pada wanita yang bekerja maka jenis tantangan dan tekanan pekerjaan akan mempengaruhi stress. Demikian juga keberadaan anak serta dukungan lingkungan sekitar.
“Kematangan diri, perkembangan mental, intelektual, emosional dan spiritual harus saling melengkapi. Ini akan berpengaruh dalam mengelola masalah yang ada,” jelasnya.
Prof Euis menegaskan pentingnya perempuan membangun identitas diri yang positif. “Jika ingin menjadi ibu dan menganggapnya prestise dan mulia maka jangan terganggu gerakan yang mengatakan bahwa menjadi ibu itu tidak berdaya. Apalagi dengan adanya alasan kesetaraan gender yang menyatakan perempuan hanya berkualitas jika ke luar rumah dan bekerja, memperoleh jabatan yang sama dengan laki-laki dan berkontribusi ekonomi yang sama dengan suaminya,” ungkapnya.
Ia menambahkan women’s empowerment tidak boleh terpisah dari keluarga. Menurutnya, resiliensi merupakan kemampuan bertahan keluarga dalam kondisi krisis.
“Kita tidak pernah tahu seberapa resilien sampai kita mengalami krisis. Namun resiliensi dapat diukur dari potensi yang ada, misal apakah memiliki believe system yang baik, kepercayaan tentang qadha dan qadar. Pola organisasi, komunikasi ataupun tetangga yang baik adalah sistem pendukung keluarga,” jelasnya.
Dalam hal ibu rumah tangga, lanjutnya, stressor bisa terlihat dalam ragam peran perempuan dalam keluarga. Ibu dapat dikatakan sebagai planner, direktur operasional dan manajer keuangan. Jika dijalani, karena pilihan saja, tidak lepas dari stressor apalagi jika karena terpaksa dan tidak ikhlas.
Ketidakikhlasan menurut Prof Euis menyebabkan semua hal yang asalnya positif dan bermakna ibadah dapat menjadi sebaliknya.
“Sebetulnya ibu ikhlas menjalankan pekerjaan rumah tangga tapi karena kesal dengan suaminya jadi tidak ikhlas. Para suami harus paham apa yang membuat istrinya kesal. Ibu juga harus dapat mengelola agar tidak terjadi ketidakikhlasan, kemampuan ini harus dimiliki perempuan dan diperlukan juga pemahaman dari lingkungan maupun suaminya,” jelasnya.
Menurut Prof Euis konflik terjadi karena perebutan sumberdaya yang terbatas yaitu waktu, tenaga fikiran dan finansial. “Masalah keluarga seringkali tidak signifikan mempengaruhi pekerjaan, tetapi masalah pada pekerjaan signifikan mempengaruhi keluarga,” ujarnya.
Karenanya, imbuhnya, penting untuk memahami tips keseimbangan kerja keluarga. Dimulai dari pemaknaan kembali tujuan keluarga, peningkatan komunikasi, penyusunan rencana dan daftar kebutuhan keluarga serta memaksimalkan dukungan sosial.
Untuk pengelolaan stress Prof Euis menyampaikan hal pertama adalah perlunya pengenalan atas stressor. Kedua memunculkan dan penguatan konsep diri yang positif, pribadi yang hangat dan terbuka. Ketiga optimalkan aset internal dalam menangani kesehatan mental seperti pengetahuan dan nilai agama.
“Dari segi eksternal yaitu pengefektifan jejaring dan dukungan sosial seperti ahli agama, konselor ataupun psikiater,” ungkapnya. Ia menambahkan, “Bagi seorang muslim misalnya, tentunya dzikir akan membantu dalam mendapatkan ketenangan, menjadikan sabar dan sholat sebagai penolong” tandasnya.