Politisi, Apresiasi dan Bullying

oleh

Kehidupan itu berpasang-pasangan. Apapun itu. Ada siang, ada malam. Ada kebahagiaan, ada kesedihan. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang mendapat pujian, ada yang mendapat cercaan. Sikapilah dengan wajar. Bagai roda pedati. Hukum alam. Sunatullah.

Apalagi dalam dunia politik. Para politisi, wakil rakyat di parlemen, atau pejabat publik di eksekutif. Kadang dicerca, tak sedikit diapresiasi. Tinggal memilih. Mau banyak diapresiasi, mau sering jadi cercaan masyarakat. Pandai-pandai lah menempatkan posisi. Punya integritas. Jangan melawan arus kehendak publik. Toh mereka yang paling berkuasa. Suara rakyat, suara Tuhan. Vox populi vox dei, Bahasa Latin-nya.

Cercaan dan Apresiasi

Cercaan dan apresiasi terhadap politisi itu sedang ramai dibicarakan. Bukan disini, tapi di negerinya Uncle Sam. Tepatnya di Texas. Negara bagian kedua terbesar di Amerika. Yang penduduknya hampir tiga puluh juta. Ibukotanya di Austin. Houston dan San Antonio diantara kota-kota besarnya. Dikenal dengan klub bola basketnya Houston Rocket, terutama ketika ada Hakeem Olajuwon. Itu dulu, saya tidak mengikuti perkembangan NBA kali ini. Bagaimana nasibnya Houston Rocket.

Pernah heboh. Soal cercaan dan apresiasi. Yang disebabkan oleh kasus Texas. Yang berimbas pada politisi. Terkait respon mereka. Atas musibah yang melanda negara bagian ini. Terkena musim dingin ekstrem. Sampai ke level minus 19. Dipandang sebagai musim dingin terburuk dalam 30 tahun terakhir di Texas.

Texas kekurangan air. Kekurangan pasokan listrik. Beberapa orang meninggal dunia. Tak tahan kedinginan. Bisa dibayangkan, musim dingin ekstrem, tanpa listrik. Tanpa heater tentunya. Bukan hanya manusia yang menderita. Ribuan penyu pun terkena hipotermia, terutama di Pulau Padre Selatan.

Melahirkan pahlawan, melahirkan pecundang. Biasa dalam krisis. Seperti di Texas ini. Ada politisi yang di bully, ada politisi yang diapresiasi. Ada dua politisi yang terlihat kontras, di apresiasi dan di bully. Oleh public tentunya. Alexandria Ocasio-Cortez yang mendapatkan simpati. Ted Cruz mendapatkan cemoohan. Karena sikap mereka yang berbeda. Di mata public.

Cortez adalah anggota parlemen dari New York. Bukan wakil dari Texas. Tapi mendapat simpati, dari orang-orang Texas. Karena aksinya mengumpulkan dana untuk membantu masyarakat Texas. Cukup besar. Mencapai lebih dari lima juta dollar. Kalikan saja dengan 14 ribu sekian rupiah. Bisa enam puluh miliar lebih.

Di twitternya dia menulis akan mendistribusikan bantuan untuk Texas. Menggandeng anggota parlemen dari Houston-Texas, Sylvia Garcia dan Sheila Jackson Lee. Ketiganya mendapatkan acungan jempol. Dianggap politisi yang peduli, terhadap penderitaan rakyat.

Cortez adalah anggota parlemen dari Demokrat. Masih cukup muda, 31 tahun. Dibesarkan di New York. Tepatnya di Bronx dan Queens. Punya simpati yang tinggi. Akan sesama, apalagi yang sedang terkena musibah. Tentu sesuai dengan latar belakang dan pengalaman hidup yang dialaminya. Sejak kecil, dibesarkan dan mempunyai pengalaman nyata. Melihat ketidakadilan jurang kaya-miskin. Yang nyata di depan mata, di kawasan Bronx dan Queens. Menginspirasinya untuk menggalang kampanye. Mengenyahkan ketidakadilan.

Setelah SMA, kuliah di Boston University. Mendapatkan gelar sarjana, Ekonomi dan Hubungan Internasional. Pernah punya kesempatan setelah lulus, magang di kantor senator Ted Kennedy. Memberinya pelajaran, mengembangkan intuisi politiknya. Terutama membela kaum lemah. Pernah mengorganisir anak-anak muda Latin di kawasan Bronx dan seluruh Amerika. Membawanya menjadi Direktur Pendidikan di National Hispanic Institute. Membantu anak-anak muda menggapai American Dreams.

Untuk membantu keluarga. Pernah bekerja menjadi waitress dan bartender. Ketika ayahnya meninggal tahun 2008. Pengalaman ini, mengasahnya menjadi sangat sensitive atas ketidakadilan. Mendorongnya untuk selalu membantu. Selalu memperjuangkan. Kepentingan kelas pekerja. Wajar jika hatinya tersentuh. Membantu warga Texas. Yang menderita. Yang sedang menghadapi musibah besar.

Berbeda nasib dengan Cortez adalah Ted Cruz. Yang banyak di bully di medsos. Karena dianggap kurang sensitive. Bagi warga Texas yang sedang menderita. Padahal ia adalah anggota parlemen, mewakili Texas.

Ted Cruz nama populernya. Lengkapnya adalah Rafael Edward Cruz. Dianggap politisi senior. Lahir tahun 1970. Politisi Partai Republik, yang sudah menjadi anggota parlemen sejak tahun 2012.

Karir Politik

Karir akademik dan politiknya cukup mentereng. Lulusan dari Princeton dan Harvard Law School. Dua universitas bergengsi di Amerika. Sebelum berkarir di pemerintahan. Menjadi penasehat kebijakan. Ketika George W. Bush menjadi presiden Amerika.

Tahun 2016 pernah mencalonkan diri menjadi presiden. Pada pilihan primary di level partai Republik. Ia kalah oleh Donald Trump. Yang menjadi calon dari Republik. Mengalahkan Hillary Clinton. Meskipun pada akhirnya Cruz juga jadi pendukung fanatic Trump. Menjadi salah seorang anggota parlemen dari Republik. Yang menolak mengakui kemenangan Bidden.

Ia sekarang banyak di bully. Karena ketidaksimpatiannya terhadap penderitaan. Yang dirasakan warga Texas. Di tengah penderitaan kedinginan, kekurangan air dan tidak adanya aliran listrik di Texas. Ia melakukan perjalanan cukup jauh. Meninggalkan Texas. Untuk liburan. Ke Cancun Mexico. Dengan keluarganya.

Setelah mendapatkan banyak kritik. Hari berikutnya dia pulang ke Texas. Membatalkan liburan dengan keluarganya. Yang direncanakannya seminggu. Tentu ia menjadi bulan-bulanan pers dan rakyat Texas. Terlebih sindiran dari Partai Demokrat. Padahal Cruz adalah salah satu calon presiden potensial 2024, dari Partai Republik.

Itulah politik. Itulah posisi politisi. Harus punya integritas. Punya pembelaan, bagi rakyat konstituennya. Jangan main-main. Tidak bisa, tidak sensitive, atas penderitaan rakyat yang diwakilinya.

Dua sosok Cortez dan Cruz mewakili potret. Para politisi dalam merespon. Isu-isu sensitive di masyarakat. Salah melangkah, fatal akibatnya. Itulah demokrasi. Rakyat berhak mengkritisi. Wakil-wakilnya yang dipandang tidak performed. Tidak punya keberpihakan, bagi konstituennya. Rakyat berhak berteriak, bahkan menggagalkan liburan, seperti kasus Cruz tersebut. Untung Cruz sadar akan kritik itu. Ia langsung pulang dari Cancun ke Texas, untuk ikut peduli. Bahu membahu bersama rakyat Texas, meskipun ia dianggap too late.

Itulah potret politisi di sebrang sana. Di negerinya Joe Bidden. Dua kontradiksi antara di bully dan diapresiasi. Sebagai konsekwensi atas sikapnya. Meskipun nun jauh di sana. Tapi perlu jadi pelajaran. Bagi politisi-politisi di negeri kita. Mau seperti Cortez, atau Cruz. Cortez menanam simpati publik. Cruz menghancurkan harapannya sendiri.

Meskipun 2024 masih lama. Tapi investasi itu perlu dibangun. Sejak sekarang. Jangan abaikan suara akar rumput. Suara rakyat yang diwakili. Jika tidak ingin di bully. Rumusnya tetap sama. Dimanapun. Sampai kapanpun. Silahkan diamati, Cortez-Cortez tanah khatulistiwa, Cruz-Cruz nusantara. Karena pemilunya sama, 2024 juga.

Prof. Ahmad Ali Nurdin MA., P.hD., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.