Radea Juli A Hambali, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-BANDUNG
Menjadi modern adalah mendaku keyakinan bahwa subjek merupakan sumber kebenaran, katanya. Dalam hikayat pemikiran, keyakinan ini menjadi pemutus antara kenyataan dan kecohan, baik dan buruk, indah dan jelek dan seterusnya.
Tapi hari ini, ketika pesan datang dan pergi di gawai kita. Ketika like dan followers menjadi orientasi eksistensi. Ketika share dan subscribe menjadi cara penahbisan ketenaran bahkan cuan, kehormatan subjek seakan ditelanjangi dan dilengserkan status terhormatnya.
Tampaknya, hari ini yang menjadi pusat kebenaran adalah pesan (message) yang terus bersliweran dalam komunikasi digital. Sungguhpun sebuah pesan bisa menghasilkan ide, tapi manusia hari ini hanya meneruskannya saja dalam sirkulasi komunikasi.
Dalam serbuan pesan yang datang dan pergi tanpa henti, bersama keharusan untuk me-like, menshare atau men-subscribe, berpikir tidak lebih daripada kolase pesan-pesan yang berdiri bimbang antara kenyataan dan fiksi.
Ya, hari ini pesan telah menjadi magnet yang menyedot perhatian manusia. Dalam bujukan pesan, manusia tidak lagi menengadahkan wajah ketika berbicara dengan sesama, sebaliknya menunduk menatap layar gawai. Lalu jari secara otomatis mengklik, hampir tanpa berpikir.
Seperti hari ini, kita menyaksikan kasus semisal tentang seseorang yang katanya intelektual tapi ikut “terlibat” menyebarkan pesan buruk dan menyerang seseorang penyampai nasihat agama yang berasal dari pesantren terkenal. Tanpa berpikir. Tanpa menunda untuk sekedar mencermati apakah pesan itu benar atau tidak.
Homo digitalis adalah manusia yang diatur oleh pesan tapi kehilangan pikiran dan lupa mengambil jarak untuk sekadar berrefleksi.
Allahu a’lam[]