SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-JAKARTA
Anggota Dewan Nasional Federal Uni Emirat Arab (UEA) untuk Emirat Abu Dhabi Ali Rashid Al Nuaimi mengatakan, koeksistensi adalah hubungan sosial yang didasarkan pada kebersamaan dalam eksistensi, kepentingan dan nasib bersama. Dengan asumsi kepentingan bersama yang lebih tinggi, maka semua pihak wajib mewujudkan kepentingan yang melindungi mereka.
Al Nuaimi mengatakan hal itu di hadapan para mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) pada kuliah umum bertajuk “Coexisting with Diversity and Accepting Differences” di Auditorium Harun Nasution, Selasa (4/10/2022). “Koeksistensi bisa terjadi antarindividu dan kelompok yang memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain,” katanya.
Ketua Dewan Komunitas Muslin Dunia itu juga menyampaikan, perbedaan ras, suku, agama, bahasa, gaya hidup, dan adat istiadat mengharuskan adanya prinsip dan nilai koeksistensi. Inilah yang mendorong orang-orang yang berbeda untuk hidup bersama dalam kerangka konsep koeksistensi yang bisa mencapai kepentingan bersama dan memastikan stabilitas masyarakat serta negara.
“Tidak ada pihak yang dapat hidup menyendiri dan menjauh dari pihak lain yang berbeda atau memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda,” lanjut Rektor Universitas UEA itu.
Berbicara tentang koeksistensi dan toleransi dalam masyarakat yang beragam dan plural, Al Nuami yang menjabat sebagai Ketua Departemen Pendidikan dan Pengetahuan Abu Dhabi (ADEKI) menjelaskan, proses perubahan ke arah yang lebih baik dimulai dengan penerapan undang-undang dan tidak berhenti di situ.
Dalam ceramah yang dipandu Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama FAH Usep Abdul Matin itu, Al Nuami juga menyebutkan enam cara untuk menerapkan koeksistensi dalam keragaman dan perbedaan. Pertama, negara-negara di dunia harus segera mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk memberantas ujaran kebencian, kekerasan dan mencabut sampai akarnya.
“Kedua, pendidikan harus fokus pada keragaman, perbedaan, dan menjalankan nilai-nilai toleransi. Ketiga, perlu dirumuskan kesepahaman global untuk memerangi kebencian, rasisme, dan diskriminasi, serta memvisualkan dalam bentuk drama, film, dan seni-seni lainnya,” ujar Al Nuami yang juga Ketua Departemen Pendidikan dan Pengetahuan Abu Dhabi (ADEKI) itu.
Lalu keempat, kata dia, harus ada kontrol ketat terhadap platform media sosial untuk mengkriminalisasi ujaran kebencian, diskriminasi, dan rasisme. Kelima, harus ada piagam jurnalisme global yang mengkriminalisasi agresi berbasis agama, menghormati keragaman dan perbedaan, dan memerangi diskriminasi serta ujaran kebencian.
“Keenam, konferensi internasional para pemimpin agama harus diadakan dan menyepakati piagam kebebasan beragama. Ini akan memiliki semangat yang sama dengan Dokumen Persaudaraan Manusia, yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dari Gereja Katolik dan Syekh Al Azhar di Abu Dhabi pada tahun 2019,” sambungnya.
Menurut pelopor reformasi dan kebijakan pendidikan di UEA itu, jika keenam syarat itu terpenuhi, maka warga dunia dapat hidup berdampingan dengan damai dalam keragaman dan perbedaan agama, etnis, dan budaya, serta anak hingga cucu akan merasa lebih aman, bahagia, dan stabil.
Hadir dalam kuliah umum tersebut Rektor UIN Jakarta Amany Lubis, Dekan FAH Saiful Umam, serta sejumlah pejabat lain.