JAKARTA SENTRA PUBLIKASI INDONESIA–
Deforestasi dan degradasi hutan tropis merupakan isu global. Sebagai salah satu pemilik hutan tropis yang luas di dunia, Indonesia telah memberikan perhatian tinggi terhadap isu tersebut. Dalam perkembangannya, diperlukan upaya untuk mengarusutamakan isu-isu lintas sektoral dan lintas komponen negara dalam penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan tropis ini.
Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mego Pinandito mengatakan, penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan tropis perlu dilakukan secara terpadu oleh berbagai lembaga negara, lembaga non pemerintah, dan mitra pembangunan Indonesia, termasuk komponen akademik dan masyarakat beragama.
Mego mengatakan lingkungan tidak selalu berarti fisik namun juga dalam konteks spiritual. Ia mencontohkan pembangunan di Kalimantan yang membuka lahan menyebabkan terjadinya deforestasi.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya reforestasi yang tidak hanya sebatas penanaman kembali, namun juga mengembalikan ekosistem yang sudah ada sehingga dapat disempurnakan. Perhatian penuh dari perkembangan dan luasan hutan hujan tropis perlu diberikan, baik dari sisi regulasi yang bersifat nasional dan internasional, maupun dari sisi lain seperti nilai-nilai spiritual.
“Proses degradasi dari hutan harus dikejar oleh deforestasi yang membutuhkan dukungan dari berbagai lembaga maupun masyarakat. Juga dari perguruan tinggi, akademik, yang bisa memberikan masukan-masukan yang akan menjadi motor penggerak pengembalian ekosistem yang rusak. Di sisi lain, masyarakat sekitar dan masyarakat adat tentunya juga bisa membantu perlindungan hutan tropis. Pemerintah, akademik, masyarakat, komunitas, semuanya pasti akan menjunjung tinggi dan memperjuangkan hutan atau wilayah lingkungan hidup agar terus terjaga,” ujarnya dalam acara sarasehan bertopik “Kekayaan Khazanah Ilmiah dan Nilai-nilai Spiritual dalam Perlindungan Lingkungan”, dikutip dari laman BRIN, Jumat (12/4/2024).
Sebagai salah satu upaya perlindungan dan perhatian terhadap lingkungan, BRIN sendiri melalui Direktorat Kebijakan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran melakukan sejumlah kajian di antaranya terkait rehabilitasi mangrove untuk pemulihan ekosistem dan sosial ekonomi.
Koordinator Fungsi Kebijakan Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air BRIN, Fitri Nurfatriani mengatakan di tahun 2023, timnya melakukan kajian di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Brebes, karena di jalur tersebut ekosistem mangrove mendapatkan tekanan yang cukup tinggi.
Dari hasil kajian, pihaknya memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan di antaranya mendorong stakeholder (Badan Restorasi Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan) untuk melakukan penanaman mangrove berbasis sains dalam pemilihan lokasi tanam, dan jenis spesies yang tepat.
Penanaman mangrove berbasis masyarakat juga dapat dilakukan melalui pendampingan masyarakat pasca penanaman, dan peningkatan local knowledge melalui edukasi/pelatihan dini pengolahan produk mangrove, kearifan lokal, dan program insentif. Selain itu, perlu dilakukan penguatan sinergitas nasional terintegrasi untuk monitoring dan evaluasi keberhasilan dan tingkat kematian dalam program rehabilitasi mangrove.
“Sementara itu, di tahun 2024 kami fokus di ekowisata mangrove berbasis masyarakat. Kami mengkaji peran dan kontribusi jasa lingkungan berdasarkan aspek ekologi dan sosial ekonomi, kendala dan hambatan, faktor penentu kebijakan dan merumuskan rekomendasi kebijakan terkait hal tersebut,” ujarnya. Lokasi kajian sendiri dilakukan di Semarang, Denpasar, dan Kabupaten Serdang Bedagai. Ekowisata mangrove dalam hal ini memiliki sejumlah peran antara lain untuk perlindungan ekosistem pesisir, carbon stock dan peningkatan masyarakat.