Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Phil Sahiron : Tawarkan Pendekatan Ma’na-cum-maghza atas Al Qur’an

oleh

SENTRA PUBLIKASi INDONESIA-YOGYAKARTA

Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan Dan Keuangan, Prof. Dr. Sahiron Syamsuddin, MA., dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Tafsir. Prof. Sahiron dikukuhkan oleh Ketua Senat UIN Suka, Prof. Siswanto Masruri berdasarkan SK Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI nomor 26487/MPK.A/KP.05.01/2022. Bertempat di Gedung Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., kampus UIN Suka, Rabu (07/09/2022)

Sidang Senat Terbuka kali ini dihadiri oleh Ketua Senat, Prof. Siswanto Masruri, Anggota Senat, Rektor UIN Suka, Prof. Phil Al Makin, para Wakil Rektor, Para Dekan, keluarga besar Prof. Dr. Phil Sahiron, BPIP, Pondok Pesantren Baitul Hikmah, Pondok Pesantren Krapyak, kolega,sivitas akademik, segenap santri dan tamu undangan. Pengukuhan tersebut juga dapat disaksikan oleh tamu undangan secara virtual melalui live streaming kanal YouTube UIN Sunan Kalijaga.

Prof. Dr. Phil Sahiron, MA., menawarkan Pendekatan Ma’na-cum-maghza dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat suci Al Qur’an pada masa kontemporer ini, sehingga dapat merasakan bahwa Al-Qur’an itu sáliḥ li-kull zaman wa makan (sesuai dan relevan untuk segala zaman dan tempat). Pendekatan ma’na-cum-maghzā adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma’na) dan pesan utama/signifikansi (maghza) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian.

Ada dua horison/wawasan yang sebaiknya digabungkan ketika seseorang melakukan penafsiran, yakni horizon of text (horison teks) dan horizon of reader (horison pembaca/ penafsir teks). Penggalian makna historis dan signifikansi historis dalam Pendekatan Ma’na-cum-Maghză ini dilakukan dalam rangka memperhatikan horison teks, sedangkan rekonstruksi signifikansi kontemporer bertujuan memberikan ruang kepada penafsir/pembaca teks untuk menggunakan wawasan/horisonnya dalam mengkontekstualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam teks yang ditafsirkan itu.

Guna menjelaskan lebih jauh, Prof. Sahiron memberikan contoh bagaimana memahami ayat yang sempat viral, yakni QS. Al Maidah ayat 51:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ (٥١)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia. “Jika kita mengambil al ma’na saja, maka dilarang berteman setia dengan non muslim. Kalau terpaku dengan al ma’na at tarikhi, tidak memperhatikan al maghza at tarikhi nya maka akan keliru bersikap tidak mau berteman dengan non muslim.”

Prof Sahiron menyebutkan bahwa ada sebagian ayat yang bersifat jelas (muhkamat) dan ada yang mutasyaabihat. Ini adalah ujian. Jangan sampai keliru memahami ayat-ayat yang mutasyabihat. Termasuk dalam QS Al Maidah ayat 51, tidak disebutkan maghza at tarikhi nya, sehingga tidak diketahui pesan utamanya apa.

Kemudian Prof. Sahiron menjelaskan bagaimana memahami maghza at tarikhi, dengan melihat dari konteks sejarah. Sebelum perang Badar, sekelompok Yahudi datang kepada Rasulullah kemudian berkata, bahwa mereka dengan tegas tidak mau ikut berperang melawan kaum musyrik Makkah. Kemudian Rasul menyampaikan jika memang sekelompok Yahudi tersebut tidak berkeinginan membela Madinah bersama Rasul dan pasukan, tidak apa-apa. Kaum Muhajirun dan Anshar serta komunitas lainnya yang ada akan tetap mempertahankan Madinah.

Kedua pihak kemudian berpisah. Kemudian orang-orang Yahudi bertemu Abu Sufyan saat perjalanan ke Damaskus. Saat Abu Sufyan hendak membunuh mereka, orang-orang Yahudi tersebut menjelaskan bahwa meskipun mereka orang Madinah tapi mereka tidak akan ikut berperang melawan Abu Sufyan yang merupakan musyrik Makkah, meskipun kami sudah diikat dengan mitsaqul madinah dan kami sudah selesai dengan hal itu saat tadi bertemu dengan Muhammad. Selain mengatakan hal tersebut, orang-orang Yahudi juga membuka rahasia militer pasukan Nabi Muhammad kepada Abu Sufyan.

Abu Sufyan yang merasa diuntungkan dengan informasi tersebut mengucapkan terima kasih kepada orang-orang Yahudi dan mereka dibebaskan. Setelahnya, pasukan Abu Sufyan melakukan mobilisasi besar-besaran di Makkah. Nabi Muhammad yang mendengar adanya mobilisasi itu mengutus sahabat Ubadah bin Shamit untuk menjadi mata-mata di Makkah. Dan akhirnya diketahuilah informasi bahwa mobilisasi tersebut dikarenakan perintah dari Abu Sufyan, yang sebelumnya bertemu dengan sekelompok orang Yahudi.

Pulanglah Ubadah ke Madinah dan menyampaikan segala informasi yang didapatkannya kepada Nabi Muhammad SAW. “Saya tidak akan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia untuk membela Madinah”, demikian ujar Ubadah, yang didengar oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Keduanya terlibat perdebatan karena Abdullah bin Ubay bin Salul tidak setuju dengan Ubadah, dan mengatakan tetap akan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia.

Rasulullah memohon kepada Allah untuk menurunkan wahyu mengenai siapa yang harus diikuti dan kemudian turunlah Al Maidah ayat 51.

Prof. Sahiron kemudian menyimpulkan, jadi jika dilihat dari konteks sejarahnya ditambah dengan analisa linguistik, maka akan mengetahui al maghza at tarikhi, pesan utama QS. Al Maidah ayat 51 bukan tentang larangan berteman dengan non muslim, namun larangan melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian bersama, perjanjian politik Mitsaqul Madinah yang dikhianati oleh Yahudi dan saat itu dekat dengan Nasrani. Siapapun yang melakukan pengkhianatan maka bersiap-siap untuk tidak dapat dipercaya lagi oleh yang dikhianati. Begitulah pendekatan dengan ma’na cum maghza.

Setelah mendapatkan pesan utama atau maghza at tarikhi, kemudian dikembangkan untuk konteks kekinian, Insya Allah jika dilakukan, kita akan merasakan sáliḥ li-kull zaman wa makan (sesuai dan relevan untuk segala zaman dan tempat) dan kita bisa merasakan Al Qur’an adalah kitab suci yang penuh rahmah (kasih sayang).

Pendekatan ma’na-cum-maghza mempunyai lima paradigma. Paradigma yang dimaksud di sisi landasan landasan pemikiran yang harus dimiliki oleh penafsir ketika menggunakan pendekatan ini, antara lain (1) Al Quran adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berfungsi sebagai rahmah kepada umat manusia dan alam semesta sejak masa Nabi hingga akhir zaman. (2) Pesan utama Al Quran itu universal, didasarkan pada keyakinan bahwa Al Quran salih li kull zaman wa makan. Dari dua hal ini ada dua sisi Al Quran yang harus diperhatikan yakni Al-Ma’na yakni makna bahasa/literal dan Al-maghza, maksud utama atau signifikansi. (3) Universalitas pesan Al Qur’an memerlukan penafsiran, reaktualisasi dan reimplementasi yang terus menerus. (4) Tidak adanya pertentangan antara wahyu dan akal sehat. Keduanya tidak mungkin kontradiksi, melainkan saling membutuhkan. (5) Tidak adanya naskh (penghapusan) dalam Al Qur’an.

Mengakhiri pidatonya, Prof. Sahiron menuturkan bahwa ada beberapa prinsip dalam penafsiran Ma’na-cum-maghza ini salah satunya adalah harus selalu sadar bahwa penafsiran ini hanya relatif kebenaran, yang absolut hanyalah Allah SWT.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil Al Makin, S. Ag., M. A. mengucapkan selamat secara langsung atas pengukuhan tersebut melalui pidatonya. Prof. Dr. Phil, Al Makin S. Ag., M.A. menceritakan kisah persahabatannya dengan Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M. A. sejak sebelum melanjutkan studi S2 nya di McGill University. Persahabatan tersebut layaknya persahabatan yang dideskripsikan oleh Aristoteles yakni persahabatan by virtue atau keutamaan. Al Ghazali menyebutnya Fadhilah.

Pertemanan yang terkenal dalam sejarah Islam ialah pertemanan Nabi Muhammad dan sahabatnya yang kemudian disebut sahabat Nabi. Nabi Muhammad membentuk lingkaran pertemanan dari berbagai suku di sekitar Madinah yang damai serta saling mendukung untuk membentuk kota negara.

Prof. Dr. Phil Al Makin, S. Ag., M.A., juga mengungkapkan konsistensi Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A., dalam belajar serta mengembangkan ilmu tafsir, sehingga tidak heran bahwa ia mampu menemukan cara, teori, dan metodenya sendiri untuk menafsirkan ayat. Tujuan utama pendekatan yang ditawarkan yaitu untuk menggali makna dan signifikansi historis dari ayat yang ditafsirkan dan kemudian mengembangkan signifikansi historis tersebut menjadi signifikansi dinamis. Metode tafsirnya bersifat dinamika diluar dan dinamika didalam diri kita, sesuai dengan ciri khas tafsir di UIN Sunan Kalijaga.

Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi yang menyampaikan sambutannya melalui rekaman video menyampaikan rasa syukurnya atas campaian akademik Prof. Sahiron. Menurut Prof. Yudian Wahyudi, sebagai Dosen dan abdi negara, Prof Sahiron adalah sosok yang taat beribadah, cerdas, tekun, setia kawan, dan care pada masyarakat semua kalangan, dan semua staf di kampus UIN. Prof. Sahiron juga sangat peduli pada kesejahteraan dan pendidikan karir semua Pegawai UIN Sunan Kalijaga.

Sebagai Ahli Tafsir Al Qur’an, Prof. Sahiron pernah menjadi Saksi Ahli yang meringankan pada masalah hukum yang menimpa Ir.Basuki Tjahaja Purnama, M.M. (Pak Ahok).