SPI-JAKARTA
DPR RI telah menyetujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, yang di dalamnya mengatur kewajiban cuti melahirkan menjadi 6 bulan. Peneliti dari Divisi Kedokteran Kerja FKUI Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK menilai keputusan itu tepat, sebab sudah ada beberapa bukti dan kajian ilmiah yang menyatakan durasi cuti hamil 6 bulan berdampak baik bagi kesehatan ibu dan anak.
Diungkapkan dr. Ray, tim kedokteran kerja FKUI sejak tahun 2012 sudah melakukan banyak penelitian dan mempublikasikan hasil riset terkait cuti melahirkan 6 bulan pada pekerja perempuan. Semua penelitian itu menunjukkan cuti 6 bulan sangat efektif meningkatkan potensi kesuksesan ASI eksklusif, mengoptimalkan status kesehatan ibu dan bayi, mempertahankan produktivitas pekerja, serta berdampak positif bagi ketahanan keluarga.
“Mulai dari hasil review mendalam dan expert consensus penelitian kami sejak 10 tahun silam menunjukkan bahwa memperpanjang cuti melahirkan hingga 6 bulan mutlak memberi daya ungkit terhadap keberhasilan ASI eksklusif, kesehatan ibu dan bayi serta mempertahankan produktivitas pekerja perempuan,” kata dr. Ray dalam keterangan tertulis, Minggu (19/6/2022).
“Bila pekerja perempuan baru masuk kerja setelah 6 bulan dan berhasil beri ASI Eksklusif, tingkat produktivitas nya 8 kali lebih baik. Sebaliknya apabila ibu menyusui harus kembali bekerja di usia bayi 2-3 bulan, maka risiko Kesehatan meningkat signifikan, terutama karena proses laktasinya terganggu. Akibatnya produktivitas tidak maksimal,” lanjutnya.
Pendiri dari Health Collaborative Center (HCC) (@healthcollaborative.center-sebuah wadah edukasi dan advokasi kesehatan masyarakat di bidang nutrisi, kesehatan kerja, laktasi dan kesehatan komunitas-itu menambahkan penelitian yang dimulai sejak 2012 hingga 2015 menegaskan pekerja buruh perempuan yang kembali bekerja pada usia bayi 3 bulan, maka tingkat kegagalan ASI Eksklusif hingga 81%. Artinya hanya 19% buruh yang menyusui yang bisa ASI eksklusif.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal PGHN bertajuk ‘Benefits of a Dedicated Breastfeeding Facility and Support Program for Exclusive Breastfeeding among Workers in Indonesia’, ulas dr. Ray, membuktikan cuti melahirkan 3 bulan dan gagal ASI eksklusif mengakibatkan kondisi kualitas kerja juga menurun drastis dan peluang ibu untuk absen dari pabrik dan kantor meningkat hingga 2 kali lebih besar.
“Artinya cuti 3 bulan saja tidak membuat perusahan lebih untung, malah jadi buntung karena pekerja harus sering absen.” sebut dr. Ray .
Penelitian tim kedokteran kerja FKUI juga diperdalam dengan formulasi kebijakan dan program serta intervensi hingga tahun 2019. Adapun Dalam penelitian berjudul ‘Developing Workplace Lactation Promotion Model in Indonesia yang dipublikasikan di BMC Archives of Public Health’, sambung dr, Ray, konsensus multi pakar menegaskan cuti melahirkan minimal 6 bulan adalah kebijakan utama yang paling efektif dalam meningkatkan keberhasilan ASI Eksklusif hingga 8 kali lebih besar. Sebaliknya, cuti 3 bulan saja dan gagal ASI Eksklusif maka 2 kali lebih besar untuk gagal ASI. Bila sudah gagal ASI Eksklusif maka masalah kesehatan akan meningkat.
Selain itu, dr. Ray menjabarkan berdasarkan penelitian intervensi sejak 2018 pada pegawai kantoran perusahan multinasional yang mendapat kesempatan cuti 6 bulan, tingkat keberhasilan ASI dan kepatuhan kerja setelah kembali bekerja jauh lebih efektif dibanding yang mendapat cuti kurang dari 6 bulan.
“Selain masalah Kesehatan bayi yang lebih tinggi, Kesehatan reproduksi dan Kesehatan mental ibu pekerja yang harus meninggalkan bayi kurang dari 6 bulan di rumah juga menjadi lebih berisiko,” papar dr. Ray yang mempunyai akun Instagram @ray.w.basrowi
Ia pun menegaskan RUU KIA dengan kebijakan cuti berbayar 6 bulan sudah wajib dilaksanakan di Indonesia sesegera mungkin. Sebab, kata dia, negara tetangga pun sudah melakukannya.