Menjadi Manusia “Ho Sophos”

oleh

Menjadi “Ho Sophos” (si bijaksana) bukan sekadar soal kelihaian menyusun dalil dan argumen secara rigorus. Bukan karena piawai mendemonstrasikan kemampuan berlogika. Bukan juga karena terampil merangkai kata dan menyusun kalimat. Menjadi si bijak atau belajar bijak adalah dengan berupaya melepaskan diri dari emosi negatif serta meningkatkan kekuatan batin. Inilah kira-kira yang menjadi keyakinan kaum Stoa.

Melampaui kelihaian dan kepiawaian menyusun alasan, argumen juga kata-kata, “ho sophos” bagi kaum Stoa adalah dia yang secara sadar bisa mengetahui bahwa dirinya berada dalam keselarasan sempurna dengan hukum ilahi yang meresapi seluruh alam semesta.

Alam semesta telah berjalan secara harmonis, begitu menurut keyakinan kaum Stoa. Dinamika yang terjadi di dunia pasti ada kaitannya dengan prinsip ilahi (Tuhan) yang meliputi seluruh alam semesta. Masing-masing manusia terhubung dengan kosmos sebagai satu tubuh yang besar. Di dalam tubuh itu, kaum Stoa menilai bahwa semua peristiwa eksternal ditentukan oleh peristiwa sebelumnya, dan segala hal yang terjadi sebelumnya telah ditentukan oleh Palu Besi nasib.

Tidakkah ini semacam sikap pasrah atau siasat menarik diri dari hiruk pikuk kehidupan? Sebaliknya, kaum Stoa mengajukan teori yang disebut sebagai “determinisme lunak”, sebuah gagasan yang memberikan ruang bagi kebebasan di alam semesta. Nalar manusia menurut Epictetus adalah “dewa di dalam diri” yang benar-benar menjadi diri sejati.

Kaum Stoa meyakini bahwa dengan mengolah dan melatih pikiran, manusia dapat menentukan kebebasan batin yang tidak terintimidasi oleh “palu besi” nasib itu. Kebebasan batin artinya seseorang secara bebas dan sadar merespon dan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mengendalikan dampaknya terhadap kebahagiaan dirinya.

Seseorang yang menyadari dirinya sebagai bagian dari “great chain being” (rantai keberadaan) dan tatanan alam semesta, telah mewujudkan cita-cita kebajikan “autarkia”. Autarkia dengan itu merupakan kemandiran manusia dalam dirinya sendiri. Autarkia adalah pertahanan diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia.

Menjadi “ho Sophos” bagi kaum Stoa adalah menjadikan filsafat sebagai alat yang digunakan untuk membentuk karakter individu yang tangguh. Menjadikan kesulitan sebagai benteng kokoh yang tidak tertembus serta mampu menahan penderitaan dengan ketenangan dan kekuatan. Filsafat adalah seni kehidupan yang membuat manusia tidak sekadar hidup, melainkan mampu menjalankan kehidupan dengan bijaksana. “Seni hidup lebih seperti gulat daripada menari”, begitu kata Marcus Aurelius. Allahu a’lam.

RADEA JULI A. HAMBALI, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.