AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat.
BANDUNG SENTRA PUBLIKASI INDONESIA — Dahulu ketika kecil, saya tidak pernah bercita-cita untuk bisa menulis. Yang terpikir hanya main dan dapat makanan yang enak. Maklum, kondisi ekonomi keluarga pas-pasan. Pemberian makanan dari tetangga rumah setiap sore biasanya saya tunggu-tunggu. Selepas pulang dari masjid biasanya makanan berupa daging ayam tersedia.
Bapak dan Ibu—keduanya sudah almarhum—tidak berani langsung memakan pemberian kalau belum berkumpul semuanya. Dari kakak tertua sampai saya yang bungsu, duduk dilantai dengan karpet plastik yang sudah bolong menanti jatah. Ibu yang biasanya membagikan nasi dan lauk yang diberi dari tetangga. Kalau tidak ada pemberian, kami sekeluarga cukup makan dengan nasi putih dingin dan goreng tahu atau tempe, kadang gorengan bala-bala atau gehu menjadi teman santap nasi. Biasanya Bapak membawanya sepulang dari mengajar ngaji anak-anak yang kemampuan ekonominya lebih dari cukup.
Dalam seminggu, dua kali Bapak membawa gorengan. Meskipun pulangnya sekira pukul 22.00 an, gorengan yang dingin itu ditunggu-tunggu untuk dilahap bersama. Kalau bawanya cukup banyak, Ibu menggoreng kembali dan sebagian diberikan kepada petugas kebersihan masjid yang dibawa saat akan shalat subuh.
Kalau dahulu sebelum shalat sempat berbagi makanan, sekarang lain lagi. Selepas wudhu sambil menunggu azan shubuh, bukan gorengan yang saya bawa, tetapi buku atau majalah. Tidak untuk diberikan, tetapi dibaca. Istri saya pernah menegur, sebaiknya yang dibaca sebelum shalat kitab suci Al-Quran. Saya tersenyum dan sedikit melakukan pembelaan bahwa buku yang saya baca isinya membahas keagungan dan penjelasan dari ayat-ayat Allah. Dengan pengetahuan yang pas-pasan saya berdalih bahwa wahyu yang turun kali pertama kepada Kangjeng Nabi Muhammad saw adalah iqra, yang artinya membaca. Makna membaca luas, tidak hanya teks suci, tetapi semesta alam pun bagian dari kegungan Tuhan yang harus dipelajari. Kalau sudah berdalih begitu, istri saya diam dan tersenyum kemudian saya meneruskan baca hingga berkumandang azan untuk shalat subuh.
Namun sayangnya, kebiasaan baca sebelum shalat subuh ini tidak lagi saya lakukan karena kerapkali terbangun ketika azan berkumandang. Meski begitu kegiatan baca buku masih terus dilakukan. Hanya waktunya yang berubah: menjelang berangkat beraktivitas.
Usai membaca buku, sesekali terpikir untuk menulis buku. Namun tidak segera tertuang karena selalu muncul pertanyaan yang beruntun: bisakah menulis buku? Siapa yang mau menerbitkan bukumu? Emang saya ini siapa, berani-beraninya memberikan nasihat dan pencerahan kepada orang melalui buku?
Kalau sudah muncul pertanyaan demikian, keinginan untuk menulis buku menjadi terhambat dan mencukupkan diri dengan sekadar menulis resensi buku, artikel, dan esai pendek untuk dimuat pada blog, notes facebook, dan media cetak. Lumayan, menulis artikel untuk media cetak kalau dimuat bisa untuk beli buku baru dan traktir istri makan bakso atau makan-makan. Namun, tidak setiap kali mengirim tulisan pada media cetak itu dimuat dan berbuah rasa bahagia. Malahan lebih banyak yang ditolaknya ketimbang dimuat. Kalau dikembalikan, biasanya saya simpan pada folder khusus. Mungkin sudah ada puluhan, yang resensi buku sebagian saya muat pada blog.
Sementara tulisan-tulisan jenis artikel saya simpan dalam flashdish. Mungkin karena kebodohan saya, flashdish terkena virus ketika dipinjam seorang teman yang memindahkan file. Tentu saja saya memarahinya. Saya jelaskan bahwa di dalamnya terdapat artikel-artikel yang bagi saya teramat penting. Sejak kejadian itu saya sampai sekarang sedikit pelit untuk meminjamkan flashdish, takut kehilangan files lagi.
Alhamdulillah, hilangnya files tidak membuat saya berhenti dalam kegiatan baca buku dan menulis. Dalam sebulan tidak kurang dari tiga tulisan yang saya buat, baik artikel maupun resensi buku. Setiap kali selesai baca buku atau mendengarkan ceramah atau menghadiri seminar selalu saja ada ide yang ingin dituliskan.
Banyak teman yang merespons dari beberapa tulisan saya. Dari berbagai respon yang muncul, tulisan tersebut kemudian saya olah kembali menjadi tulisan yang bisa disebut utuh. Namun, tidak artikel yang saya buat saya bagikan dalam milis atau blog, juga dikirimkan pada media cetak.
Setiap kali melihat kumpulan tulisan artikel yang saya tulis, teringat kembali pada keinginan untuk membuat buku. Setiap kali teringat ingin membuat buku, muncul lagi kalimat-kalimat “penghambat” tersebut. Namun, kali ini saya tidak menggubrisnya malah langsung beranikan diri. Saya kuatkan diri saya dengan dalih segudang fakta bahwa beberapa buku karya orang-orang ternama pun bukan buku yang sempurna. Malahan karya-karya yang ditulis oleh professor atau doktor tetap memiliki kelamahan. Dari pada menunggu “kesempurnaan” pemikiran yang belum pasti, lebih baik dibagikan dalam media sosial (blog ini). Siapa tahu ini bermanfaat. Semoga saja!