SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-JAKARTA
Era saat ini adalah era media sosial. Siapapun bisa mendapatkan informasi di sana, termasuk informasi seputar keagamaan. Yang mencengangkan adalah generasi milenial menjadi media sosial sebagai sumber utama informasi. Ketika mereka mendapatkan informasi di media sosial, mereka ‘meyakini’ itu sebagai sebuah kebenaran.
Bahkan, tidak sedikit pula yang belajar agama dari media sosial. Artikel-artikel keislaman mereka baca. Entah siapa yang menulis. Apakah seorang yang memiliki kedalaman ilmu dan belajar puluhan tahun di jurusan keislaman atau seorang yang belajar Islam dari media sosial dan menuliskannya ulang. Itu menjadi kabur di dunia jejaring maya ini.
Dulu, ketika kita ingin belajar agama maka kita harus mendatangi seorang alim ulama dan belajar langsung kepadanya. Di era media sosial, seseorang bisa ngaji dimana dan kapan saja. Tinggal buka gawai pintarnya, mereka akan disuguhi informasi keislaman yang sangat melimpah-ruah.
Termasuk jika ingin belajar tafsir Al-Qur’an. Semua jenis media sosial dipakai ‘tokoh agama’ itu untuk berdakwah. Mereka berlomba-lomba untuk mengisi dunia media sosial dengan corak pemikiran dan pemahamannya masing-masing. Ada yang konservatif-fundamentalis, ada yang moderat, dan ada juga yang liberal. Semuanya bisa didapat di media sosial. Tergantung yang ia maui.
Lewat Buku Tafsir Al-Qur’an di Medsos ini, Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir ingin menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang moderat di tengah-tengah media sosial yang saat ini memang ‘dikuasai’ oleh kelompok konservatif-fundamentalis. Sebetulnya, buku ini merupakan kumpulan artikel Gus Nadir yang terserak di media sosial. Lalu, artikel-artikel yang bertemakan tafsir tersebut dikumpulkan hingga menjadi sebuah buku yang utuh.
Buku ini terbagi atas lima bagian. Bagian pertama, Rahasia Menghayati Kitab Suci Al-Qur’an. Ada salah satu artikel yang menarik pada bagian pertama ini. Judulnya Ayatnya Sudah Jelas, Mengapa Masih Diperdebatkan Juga? Ini yang selalu menjadi perdebatan antara kelompok yang tekstualis dan kelompok yang kontekstualis.
Tekstualis memahami Al-Qur’an cukup dengan arti dan terjemahannya saja. Sedangkan, kontekstualis memahami Al-Qur’an sesuai dengan sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) dan jenis dari kalimat yang dipakai: ‘am atau khos, muhkamat atau mutasyabih, nasikh atau manshukh, dan seterusnya.
Bagian kedua, Tafsir Ayat-Ayat Politik. Di sini, Gus Nadir menghadirkan tafsir Surat Al-Maidah ayat 51. Sebuah ayat yang menjadi perhatian masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini. Dalam artikel yang berjudul Tafsir Kata Awliya dan Asbabun Nuzul dalam QS. Al-Maidah ayat 51 itu Gus Nadir menghadirkan makna awliya dari berbagai kitab klasik.
Tidak tanggung-tanggung, Gus Nadir memaparkan makna Surat Al-Maidah itu sebagaimana yang ada dalam sepuluh kitab tafsir: Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Fi Dhilalil Qur’an, Tafsir Jalalain, Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir Al-Khazin, Tafsir Al-Biqa’i, Tafsir Muqatil, Tafsir Sayyid Tantawi, Tafsir Al-Durr Al-Mansyur, dan Tafsir Al-Khazin.
Bagian ketiga, Menebar Benih Damai Bersama Al-Qur’an. Di sini, Gus Nadir mencoba memaparkan tafsir-tafsir Al-Qur’an yang berkaitan dengan kedamaian, keadilan, jangan mudah menuduh orang lain munafik, dan bagaimana menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik. Gus Nadir berpesan bahwa kita boleh saja membenci perbuatan mereka, tetapi kita jangan menzalimi pribadi mereka, keluarga mereka, serta harta dan kedudukan mereka. (hal.138).
Bagian keempat, Al-Qur’an Bergelimang Makna. Pada bagian ini, Gus Nadir mengajak kita untuk menyelami makna Al-Qur’an yang bergelimang. Mengapa ada banyak tafsir terhadap satu ayat serta bagaimana seharusnya kita menyikapi tafsir-tafsir yang ada itu.
Terakhir, Benderang dalam Cahaya Al-Qur’an. Dalam Artikel Keyakinan dan Kesungguhan Mencari Petunjuk Ilahi, Gus Nadir menekankan bahwa untuk dapat memahami Al-Qur’an maka keyakinan saja tidaklah cukup. Kita harus menggunakan pancaindera, ilmu, pengalaman, naluri, dan nurani yang telah dianugerahkan oleh Allah. Ini menarik dan biasanya ditolak oleh kelompok tekstualis karena mereka –sekali lagi- ‘hanya mau’ memahami Al-Qur’an sesuai dengan makna dan arti teks yang ada.
Kita kita bisa menghindar dari era media sosial. Era dimana informasi mengalir begitu deras. Apa yang dilakukan oleh Gus Nadir seharusnya bisa menjadi contoh bagi yang lainnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersifat moderat di jagat dunia media sosial. Syukur-syukur, artikel yang kita buat nanti bisa dibubukuan seperti punyanya Gus Nadir ini.
Data buku:
Judul : Tafsir Al-Qur’an di Medsos
Penulis : Nadirsyah Hosen
Penerbit : Bunyan
Terbit : September 2017
Halaman : 278
Peresesnsi : A. Muchlishon Rochmat
Sumber : NU Online,