SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-BANDUNG
Hamdan Sugilar, Koordinator Rumah Jurnal dan Dosen Pendidikan Matematika UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Mendengar kata matematika yang sering kali terpikir oleh sebagian orang adalah adanya soal yang rumit yang penyelesaiannya mesti diselesaikan dengan rumus, bila lupa rumus ya sudah tidak dapat mengerjakan apa-apa.
Terkadang belum mengerjakan soal pun sering kali sudah ‘pasrah’ menyatakan tidak bisa atau cemas bila ada soal matematikanya. Jika kecemasan tinggi maka hasil belajar rendah atau jika kecemasan rendah hasil belajar tinggi (Ikhsan 2019).
Akibatnya nilai matematika yang diperoleh jauh melampaui nilai-nilai lainnya, bahkan tidak sedikit yang ‘mengorbankan’ pelajaran matematika karena yang ada dibayangannya adalah susah, sulit, dan nilai jelek. Orang-orang memandang matematika sebagai sesuatu yang sulit tetapi menantang atau membosankan, kebanyakan dari mereka hanya mengasosiasikan matematika dengan mata pelajaran sekolah (Sam and Ernest 2000; Wedege 2003).
Impactnya menjadikan matematika merupakan salah satu pelajaran yang dibenci atau dijauhi. Bila kita tanya ke orang tua pun jawabannya tidak berbeda, matematika itu memusingkan dan sulit dipelajari. Orang dewasa tampaknya kurang menghargai matematika dibandingkan keterampilan lain dalam mempersiapkan anak-anak kecil untuk memasuki sekolah dasar (Musun‐Miller and Blevins‐Knabe 1998).
Bila kondisi ini terus menjadi pandangan yang kurang baik terhadap pelajaran matematika, selamanya image matematika tidak akan pernah berubah. Ada korelasi antara sikap siswa terhadap matematika dan hasil matematika mereka, sehingga penting untuk mengembangkan sikap positif terhadap pembelajaran matematika, terdapat korelasi positif tinggi yang signifikan antara pemikiran matematis dan sikap matematika, dan terdapat korelasi negatif antara kecemasan matematika dan sikap matematika (Kargar, Tarmizi, and Bayat 2010; Marchis 2011).
Pentingnya Belajar Matematika
Mengapa matematika harus dipelajari, walau sebagian orang mengungkapkan bahwa matematika sulit dipelajari? Ini yang menjadi dasar bahwa walau merasakan sulit, namun matematika penting untuk dipelajari salah satunya matematika sebagai sarana atau tools untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Apakah pelajaran lain tidak memuat aspek berpikir? tentu tidak, semua pelajaran memuat aspek berpikir karena hakikatnya belajar adalah aktivitas berpikir.
Namun, proporsi setiap pelajaran berbeda-beda. Pada matematika muatan aktivitas berpikirnya jauh lebih banyak. Jika guru adalah untuk mendorong berpikir matematis pada siswa, maka mereka perlu terlibat dalam berpikir matematis sepanjang pelajaran itu sendiri (Stacey 2006).
Ini disebabkan karena pada matematika dipelajari tentang kaidah berpikir logis, kreatif, kritis, penalaran dan lain sebagainya. Tanpa aktivitas berpikir yang optimal, seseorang sulit untuk mempelajari materi pelajaran dengan baik. Kemampuan berpikir sistematis dapat membentuk pola berpikir yang teratur, teliti, dan logis (Sobarningsih et al. 2019).
Bila matematika berperan dalam pemecahan masalah, dengan adanya aplikasi atau software matematika soal dengan mudah dapat diselesaikan. Hal ini tidak serta merta masalah matematika selesai, perlu dipahami juga bagaimana dan mengapa hasil output software atau aplikasi tersebut benar atau ada kekeliruan.
Hasil riset Bunt, Terry, and Lank tahun 2013 menunjukkan bahwa meskipun alat komputasi digunakan oleh kedua kelompok untuk mendukung pekerjaan mereka, perangkat lunak matematika saat ini memainkan peran yang relatif kecil dan tidak dapat dipercaya dalam proses tersebut. Data kami menunjukkan bahwa lima faktor utama membatasi penerapan perangkat lunak matematika saat ini untuk praktik kerja ahli: (a) kurangnya transparansi dalam cara perangkat lunak saat ini memperoleh hasil yang dihitung; (b) kurangnya batasan operasional yang jelas yang menunjukkan apakah sistem dapat beroperasi secara berarti pada masukan pengguna (baik ekspresi atau data); (c) kebutuhan input dua dimensi bentuk bebas untuk mendukung anotasi, diagram, dan manipulasi objek menarik di tempat; (d) potensi masalah transkripsi saat beralih antara media fisik dan komputasi; dan (e) perlunya kerjasama, khususnya pada tahap awal pemecahan masalah (Bunt, Terry, and Lank 2013).
Bayangkan ketika ada soal matematika yang disajikan dalam bentuk kontekstual atau soal konsep, tanpa memahami dengan baik apa yang diketahui, ditanyakan, dan bagaimana cara menjawabnya sampai pada melihat kembali kebenaran jawaban seperti yang diungkapkan. Hal ini merupakan salah satu penyebab kesulitan dalam mengerjakan soal, bingung terlebih dahulu tanpa mau mencoba melalui triar and error.
George Polya memberikan kontribusi yang luar biasa bagi para pendidik matematika, ia mengidentifikasi empat langkah dalam proses pemecahan masalah; (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana, (3) melaksanakan rencana tersebut, dan (4) melihat ke belakang dan memeriksa (Polya 2004).
Siswa yang mampu secara matematis menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk mengumpulkan informasi dengan cara yang lebih sintetik, untuk memproses informasi dengan cara yang lebih efektif, ekonomis, dan fleksibel dan untuk menyimpan informasi yang diperlukan lebih dari yang tidak penting (Kang 2015).
Ketahanan dalam mengerjakan soal matematika sangat dibutuhkan, baik soal rutin yang sering dilatihkan atau pernah menyelesaikan atau soal non rutin yang dapat dikatakan soal baru atau belum dilatihkan yang membutuhkan level pemikiran tingkat tinggi atau higher order thinking skills. Baik soal rutin atau non rutin pemahaman konsep sebagai pra syarat, kemauan mandiri, kepercayaan diri untuk mau mencoba, ketahanan menyelesaikan soal merupakan salah satu bagian dari upaya menyelesaikan soal matematika disamping ada faktor lain yang mempengaruhinya.
Pembelajaran matematika dipengaruhi oleh kepercayaan siswa terkait matematika, terutama kepercayaan diri (Hannula, Maijala, and Pehkonen 2004).
Untuk itu perlu dibangun kepercayaan diri untuk mampu dan bisa menyelesaikan soal matematika tanpa ‘pasrah’ terlebih dahulu. Kepercayaan diri guru sebagai guru matematika juga berhubungan secara signifikan dengan kepercayaan diri siswa sebagai pembelajar matematika (Stipek et al. 2001).
Dengan demikian, kita harus lebih bijak dalam memberikan padangan terhadap matematika dari sisi peran dan fungsinya dengan mengubah paradigma matematika kurang berperan dalam kehidupan sehari-hari menjadi matematika dapat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah, menarik kesimpulan, dan aktivitas berpikir lainnya.
Referensi
Bunt, Andrea, Michael Terry, and Edward Lank. 2013. “Challenges and Opportunities for Mathematics Software in Expert Problem Solving.” Human–Computer Interaction 28(3):222–64.
Hannula, Markku S., Hanna Maijala, and Erkki Pehkonen. 2004. “Development of Understanding and Self-Confidence in Mathematics; Grades 5-8.” International Group for the Psychology of Mathematics Education.
Ikhsan, Muhamad. 2019. “Pengaruh Kecemasan Matematis Terhadap Hasil Belajar Matematika.” De Fermat: Jurnal Pendidikan Matematika 2(1):1–6.
Kang, Wan. 2015. “Implications from Polya and Krutetskii.” Pp. 405–16 in Selected Regular Lectures from the 12th International Congress on Mathematical Education. Springer.
Kargar, Maryam, Rohani Ahmad Tarmizi, and Sahar Bayat. 2010. “Relationship between Mathematical Thinking, Mathematics Anxiety and Mathematics Attitudes among University Students.” Procedia-Social and Behavioral Sciences 8:537–42.
Marchis, Iuliana. 2011. “Factors That Influence Secondary School Students’ Attitude to Mathematics.” Procedia-Social and Behavioral Sciences 29:786–93.
Musun‐Miller, Linda, and Belinda Blevins‐Knabe. 1998. “Adults’ Beliefs about Children and Mathematics: How Important Is It and How Do Children Learn about It?” Early Development and Parenting: An International Journal of Research and Practice 7(4):191–202.
Polya, George. 2004. How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Vol. 85. Princeton university press.
Sam, Lim Chap, and Paul Ernest. 2000. “A Survey of Public Images of Mathematics.” Research in Mathematics Education 2(1):193–206.
Sobarningsih, Nunung, Hamdan Sugilar, Rikrik Nurdiansyah, and Imam Turmudzi. 2019. “Building Systematic Think Ability.” Pp. 540–42 in Social and Humaniora Research Symposium (SoRes 2018). Atlantis Press.
Stacey, Kaye. 2006. “What Is Mathematical Thinking and Why Is It Important.” Progress Report of the APEC Project: Collaborative Studies on Innovations for Teaching and Learning Mathematics in Different Cultures (II)—Lesson Study Focusing on Mathematical Thinking.
Stipek, Deborah J., Karen B. Givvin, Julie M. Salmon, and Valanne L. MacGyvers. 2001. “Teachers’ Beliefs and Practices Related to Mathematics Instruction.” Teaching and Teacher Education 17(2):213–26.
Wedege, Tine. 2003. “Sociomathematics: People and Mathematics in Society.” 2. Retrieved (http://www.mmf.ruc.dk/~tiw/eng/papers.htm.).