SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-BANDUNG
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung bak kembali ketiban pulung. Betapa tidak, salah satu Dosen terbaiknya yakni Dr. Dody S Truna MA sukses diangkat menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Islam oelh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dikutip dari laman Ushuluddin Today saat bertamu ke ruang kerja Dody di Kampus II UIN Sunan Gunung Djati Jalan Soekarno-Hatta Bandung. Tidak banyak berubah, alumnus Montreal Canada tahun 1992 itu menyambut dengan senyum khas, tidak banyak bicara, namun sekali bicara senantiasa mengeluarkan joke yang bisa mengundang gelak tawa.
“Jangan formal-formal ya,,,kita ngobrol santai aja,” ujar Dody memulai perbincangan.
Menurut Dody, Diangkat menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Islam memang sebuah anugerah. Namun baginya bisa dianggap biasa-biasa saja. Sebab menurut Dody, sejak dia masih berusia lima tahun, Ibunya sudah mengatakan bahwa Ia akan jadi profesor.
“Dody mah bakal sakola ka Luar Nagri, jeung bakal jadi profesor,” ujar Dody menirukan prediksi ibunya sambil menerawang.
Kendati begitu, Dody mengaku tidak terus terpaku dengan prediksi ibunya itu. Sebab, karena Ayahnya hanya pegawai negeri golongan I, Dody kecil pun terpaksa dititipkan dan hidup bersama Kakek di sebuah kampung di pilemburan kawasan Cimaung, Kabupaten Bandung.
Masa kecil Dody di bolah dibilang tidak seperti anak-anak lain seusianya. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, usai Sekolah Dody kecil malah sering ikut Kakeknya di Sawah atau di Ladang. “saya di sawah ya kadang ngangon munding (mengembala kerbau.Red), atau ngarit (nyabit rumput untuk pakan Kerbau),” kenang Dodi.
Memasuki sekolah tingkat menengah, Dody kembali bersama orang tuanya ke Bandung. Dia melanjutkan sekolahnya di MTS, dan Mualimin Pajagalan, Kota Bandung. Setelah menamatkan sekolahnya selama 6 tahun di sana, Dody pun melanjutkan kuliah ke Istitut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati yang sekarang jadi Universitas.
Lancar Bahasa Inggris sejak Mualimin
Dody mengaku sudah sejak MTS, menyukai Bahasa Inggris. Tak heran, sejak di Mualimin Dody sudah bisa punya penghasilan sendiri dari mengajar kursus bahasa inggris secara perorangan. Berbekal kemampuan tersebut, saat duduk sebagai mahasiswa Dody bahkan sering dipercaya untuk mengajar bahasa Inggris menggantikan dosennya.
“Mudah-mudahan lain sombong nya. Sejak MTS hingga kuliah prestasi saya selalu nomor satu. Itu yang saya maksud saya tidak terlalu terpaku dengan keyakinan Ibu saya yang menyebut saya bakal sekolah ke Luar Negeri dan jadi Profesor. Saya tetap fokus belajar hingga lulus kuliah prestasi saya tetap jadi nomor satu dan saat itu langsung lulus untuk melanjutkan kuliah ke McGill University,” ujarnya.
Dody S Truna, adalah anak kedua dari 9 bersaudara. Kendati hidup dari keluarga dengan seorang Ayah hanya pegawai gologan I, namun saudara kandung Dody terbilang sukses. Kakaknya adalah seorang prajurit TNI berpangkat Brigadir Jenderal.
“Tapi memang orang tua saya mendidik anak-anaknya untuk mandiri. Jadi sejak lulus SMA, semuanya seolah dibiarkan dengan mencari jalan pendidikannya sendiri,” kata Dody.
Berbeda untuk Toleran
Tak hanya berbicang tentang perjalanan hidup hingga jadi Guru Besar dan keluarganya sebagai seorang Dosen, Dody ternyata punya pandangan menarik terkait toleransi beragama di Indonesia. Menurutnya, perbedaan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari atau ditolak.
“Bahkan setiap individu, dalam kelompok atau sebagai individu dalam masyarakat selalu berusaha untuk menunjukan perbedaan dirinya atas orang lain baik dalam komunitas yang dianggapnya satu kelompok ataupun sebagai individu dalam masyarakat,” ungkapnya.
Karena itu lanjut Dody, perbedaan tidak boleh dilihat sebagai biang perpecahan. “Kita harus meminimalisasi perbedaan dilihat sebagai biang perpecahan. Perbedaan itu alamiah, justru kalau dilihat sebagai potensi perpecahan dampaknya bisa buruk,” jelasnya.
Keberbedaan itu akan tetap ada dan harus ada, karena ia adalah kebutuhan historis. Tinggal bagaimana menyikapi perbedaan itu.
“Saat ini kita sering melihat perbedaan itu cikal bakal perpecahan. Padahal, keberbedaan itu alamiah, atau bahkan secara naluri kita sendiri yang membuatnya,” ungkapnya.
Dody menambahkan, keberbedaan harus dilihat sebagai sisi potif untuk mempererat ikatan. “Jika secara alamiah kita sendiri menginginkan perbedaan, lantas kenapa menjadi alergi ketika berbeda. Biarkan perbedaan itu menjadi potensi pemersatu seperti,” pungkasnya.