Wahyudin Darmalaksana, Akademisi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
(BANDUNG-SPI)-Saat ini era teknologi informasi. Sebuah era yang memaksa semua orang untuk beradaptasi dengan teknologi digital. Tanpa adaptasi maka terdisrupsi. Disrupsi sendiri merupakan perubahan besar-besaran yang mengubah tatanan mapan. Seperti ojek menjadi gojek, taksi menjadi grab, dan mall menjadi toko online. Mereka yang paling cepat beradaptasi adalah generasi yang lahir di era teknologi ini. Saat ini mereka telah menggunakan berbagai inovasi, bahkan dipastikan mereka akan menerapkan teknologi yang belum ditemukan akibat begitu cepatnya inovasi.
Lalu, apa tugas generasi yang lahir sebelum era teknologi ini yang dipastikan akan menghadapi hambatan dalam adaptasi teknologi. Generasi masa lalu berperan dalam memainkan nilai-nilai. Diakui nilai tetap penting bagi generasi manapun. Sinergi antara generasi masa lalu dan generasi masa sekarang dibutuhkan. Suatu sinergi untuk produksi inovasi, pemanfaatan inovasi, dan pengembangan yang dilandasi nilai-nilai.
Nilai-nilai bisa berasal dari agama dan budaya. Agama sendiri merupakan nilai dalam arti ajaran yang dilandaskan prinsip-prinsip dasar dari Teks Suci. Prinsip-prinsip dasar itu diaplikasikan di dalam masyarakat beragama. Juga di dalam budaya terkandung nilai-nilai. Tiap budaya pasti memiliki nilai kearifan lokal (local wisdom) yang dipelihara masyarakat. Nilai-nilai bisa hilang bila tidak dipelihara dan tidak diaplikasikan. Atau dipengaruhi nilai lain yang belum tentu cocok ketika akan diterapkan di sini. Suatu nilai pada dasarnya bersifat universal sehingga dapat berlaku di mana saja. Tetapi nilai selalu terbalut oleh adat setempat sehingga ketika akan diterapkan di tempat lain terkadang menimbulkan penolakan. Tentu penolakan akan menimbulkan suasana tidak kondusif. Oleh karena itu, penting dipikirkan perubahan nilai dan pola lama dalam bentuk pola baru berdasarkan cara pandang baru dari perspektif agama dan budaya ini.
Pola pandang baru dibutuhkan di berbagai bidang termasuk di dunia pendidikan tinggi. Dunia pendidikan tinggi mesti mengubah cara pandang lama dengan cara pandang baru. Didasarkan cara pandang baru, tujuan pendidikan tinggi adalah menghadirkan lulusan yang siap kerja. Dengan demikian, mahasiswa harus mendapat latihan-latihan kerja. Tidak terkecuali latihan untuk peminat ilmu dasar. Ilmu dasar lazimnya bersifat teoritis bukan praktis. Ilmu dasar dibedakan dengan ilmu terapan. Ilmu terapan bersifat praktis. Peminat ilmu dasar akan memiliki kekuatan nilai sedangkan peminat ilmu terapan akan mempunyai kekuatan praktik. Antara nilai dan praktik justru menyatu, tidak bertentangan. Nilai adalah hulu sedangkan praktik ialah hilir. Dan nilai dari hulu sampai ke hilir. Jadi kurikulum pendidikan tinggi mengalir dari hulu ke hilir. Peminat ilmu dasar mesti mendapat latihan-latihan ilmu praktik. Sebaliknya, peminat ilmu terapan harus mendapatkan penguatan basis dasar.
Setengah dari kurikulum ilmu dasar harus menyajikan ilmu terapan yang relevan. Setengah teoritis dan setengah praktis. Kurikulum ilmu dasar di pendidikan tinggi Islam akan menyangkut ilmu dasar-dasar keislaman dan humaniora. Hal ini kemudian ditambah dengan ilmu terapan yang terkait dengan ilmu-ilmu dasar tadi. Melalui integrasi ilmu dasar dan ilmu terapan ini memungkinkan mahasiswa menjadi pribadi yang kritis. Kritis dalam arti memahami problem-problem kemanusiaan di satu sisi, dan berusaha akan mengungkap inti-inti persoalan dari berbagai problem tersebut dengan landasan ilmu dasar. Berpikir kritis akan berimplikasi terhadap kreativitas. Secara kreatif mahasiswa akan menemukan solusi-solusi praktis untuk mengatasi inti persoalan. Berikutnya, skill kreatif akan mengarah pada inovasi. Dari situ, mahasiswa akan belajar mengadirkan inovasi-inovasi beserta pengembangannya untuk menemukan prototipe yang lebih tepat.
Di saat yang sama pendidikan tinggi akan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi. Mahasiswa dari generasi yang sekarang ini akan sangat adaptif dalam penerapan teknologi. Generasi ini hadir untuk mampu memahami kenyataan disrupsi. Dengan itu, lulusan pendidikan tinggi akan mempunyai nilai-nilai kuat untuk kesiapan memasuki dunia kerja. Bahkan, mereka mesti memiliki kemampuan mencipta industri kreatif berbasis teknologi informasi.