Ija Suntana Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
BANDUNG SENTRA PUBLIKASI INDONESIA
Secara teori ada dua macam kerugian yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengujian Undang-Undang (UU), yaitu kerugian potensial (mafsadat) dan kerugian aktual (madarat). Idealnya, uji materi Undang-Undang yang debatable harus didasarkan pada dua jenis kerugian tersebut atau atas dasar kerugian konstitusi yang terukur.
Uji materi UU yang sekadar mendasarkan pada kerugian potensial tidak terlalu memiliki basis yang relevan. Terlebih, pengujian yang berhubungan dengan norma hukum yang memiliki karakter dinamis, seperti sistem politik. Kerugian konstitusionalitas dalam sistem politik tidak akan pernah final dan dijamin tidak terulang kembali, karena sistem politik sangat dinamis, sehingga kurang relevan dijadikan norma hukum statis.
Klaim kerugian konstitusionalitas dari suatu perundang-undangan yang mengatur sistem politik, seperti UU Pemilu, sangat sukar untuk diukur dan dibuktikan. Tidak mudah membuktikan hubungan sebab akibat antara UU Pemilu dengan kerugian hak warga atau badan hukum yang timbul. Dalam kasus uji materi UU Pemilu, yang mengatur sistem pemilu proporsional terbuka, para penggugat mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka menimbulkan kerugian konstitusi, seperti ketidakberkualitasannya para anggota parlemen yang dihasilkan melalui sistem tersebut.
Sangat rumit untuk memastikan bahwa kerugian konstitusional yang dimaksud di atas berkorelasi secara kausalitas dengan UU Pemilu. Apakah benar UU Pemilu menyebabkan anggota parlemen yang tidak berkualitas?
Mengukur kerugian dari norma sistem politik sangat bias. Kerugian konstitusionalitas warga negara dari sistem pemilu, baik terbuka maupun tertutup, serba kabur dan sama-sama sulit diukur. Kerugian sistem tertutup berhubungan dengan dugaan substansi demokrasi yang tidak terpenuhi, karena dianggap bahwa setiap warga tidak memiliki ruang terbuka untuk memilih anggota parlemen yang paling sukai dan dipercaya oleh mereka untuk mewakilinya.
Begitu halnya kerugian sistem terbuka berhubungan dengan dugaan terhadap kualitas anggota parlemen hasil sistem pemilu proporsional terbuka yang dianggap tidak memahami garis perjuangan partai dengan baik. Dengan demikian, sangat relevan apabila norma politik, seperti sistem pemilu, dimasukkan dalam ranah norma hukum yang dinamis atau diserahkan pada dinamika politik yang berkembang.
Biarkan sistem pemilu didudukkan sebagai ranah kesepakatan para pembuat hukum untuk mengaturnya. Apabila dipaksakan dipatok untuk dijadikan norma yang statis, ia akan kesulitan untuk mengikuti dinamika dan perubahan yang selalu mewarnai sistem politik. Bukan perkara mudah mengakhiri norma politik dalam suatu negara yang sistem ketatanegaraannya tidak menganut derogasi otomatis, sementara sistem politik superdinamis, kompleks, beragam, dan selalu berubah. Sistem politik tidak dapat didasarkan pada konsensus umum melalui norma yang dibakukan. Organisasi dan kelompok politik sering memiliki kepentingan yang bersaing dan bertentangan.
Pemilu Hibrida?
Lalu, apakah pemilu hibrida memungkinkan dijadikan sebagai norma hukum sistem politik? Diketahui bahwa hibrida dalam pemilu bukan sebagai norma hukum, melainkan model politik. Pemilu hibrida adalah model pemberian suara untuk meningkatkan partisipasi pemilih melalui fleksibilitas.
Hibrida merupakan model pemilu untuk memberikan banyak pilihan bagi pemilih dalam memberikan suara mereka. Hibrida ditujukan untuk meningkatkan partisipasi dan fleksibilitas pemilih dengan mempertahankan kertas suara tradisional sambil memberikan opsi daring dalam pemungutan suara. Penerapan model hibrida dalam pemilu untuk memudahkan proses tabulasi suara yang asalnya dilakukan dengan tangan sebagai pekerjaan yang memiliki tingkat kerumitan yang tinggi dan melelahkan, karena para petugas pemilu harus menghabiskan waktu berjam-jam menangani kertas suara.
Menarik hibrida untuk masuk ke dalam norma sistem pemilu bukan hal yang mudah dilakukan. Selain memerlukan Undang-Undang yang mengaturnya, pemilu hibrida perlu dipetakan. Apakah sistem pemilu hibrida akan dilakukan berbasis wilayah, level, atau segmentasi pemilihan? Walaupun memungkinkan dilakukan, legislasi untuk hal ini tampak rumit. Memerlukan daya dan upaya yang harus ekstra.
Hibrida sebagai sistem politik tidak bisa diatur melalui putusan Peradilan Konstitusi, karena putusan akan merambah pada hal-hal teknis bukan pada norma hukum. Peradilan Konstitusi, sebagai peradilan norma, tidak memiliki ruang yang leluasa untuk masuk ke dalam ranah teknis, karena hal itu merupakan wilayah pembuat regulasi.
Ruang yang luas bagi peradilan norma adalah wilayah pengendalian norma agar pemilu tetap berpijak pada nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan keterbukaan. Dengan demikian, tidak elok juga apabila Peradilan Konstitusi melibatkan diri dalam wacana norma di ruang terbuka untuk materi yang sedang didebatkan oleh dua arus yang berlawanan. Wacana dengan membawa atribut institusi di ruang terbuka tidak akan lagi dianggap sebagai wacana kultural, melainkan wacana struktural yang dipersepsikan memiliki keberpihakan institusional.
Kalau diakui secara jujur, secara praktik, sistem pemilu proporsional terbuka yang telah dipraktikkan oleh kita kenyataannya adalah sistem tertutup juga. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah anggota parlemen yang mendapat jumlah cukup suara keterwakilan. Mayoritas anggota parlemen dari partai-partai peserta pemilu bukan mereka yang terpilih dengan jumlah suara yang mencapai ambang batas keterwakilan. Pada akhirnya, secara de facto, tetap saja partai politik juga yang memiliki kekuasaan penuh menetapkan siapa saja wakil mereka di parlemen.
Sumber, detikNews Selasa, 13 Jun 2023 13:00 WIB