AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat.
BANDUNG SENTRA PUBLIKASI INDONESIA
Islam sejak wafat Rasulullah saw dapat disebut tidak murni karena masa penjagaan atas ajaran Islam telah selesai. Sejarah bercerita bahwa orang-orang Islam masa Rasulullah saw kalau mendapatkan masalah dalam beragama dan menjalani kehidupan biasanya langsung berkonsultasi kepada Rasulullah saw sehingga berada dalam kondisi yang terjaga.
Tidak salah kalau ada umat Islam yang menganggap bahwa masa Rasulullah saw sebagai masa emas Islam dan masa ideal yang pantas dijadikan rujukan untuk membangun masayarakat Islam masa sekarang ini. Tidak salah juga kalau ada yang berpendapat bahwa masa Rasulullah saw sekadar contoh yang perwujudannya bisa saja tidak sesuai atau diwujudkan dalam konteks yang lebih modern. Bagi umat Islam yang termasuk pada golongan ini, hadis dan riwayat atau Al-Quran yang menjadi landasan dalam membangun masyarakat Islam dapat disesuaikan atau ditafsirkan sesuai dengan kondisi zaman yang sedang dialami umat Islam.
Penafsiran atau penyesuaian dengan zaman yang dilakukan para ulama dan orang-orang Islam yang berilmu ini berkembang sampai melahirkan aliran dan mazhab di antara umat Islam. Baik politik, fikih, hadis, tafsir, filsafat, teologi, tasawuf, dan lainnya juga mengalami perkembangan dalam bentuk aliran-aliran yang satu sama lain saling berbeda. Namun, dalam perbedaan tersebut terdapat persamaan dan hal-hal yang positif. Perwujudan dari penafsiran Islam yang berbeda-beda inilah yang oleh Abdul Karim Soroush[1] disebut agama identitas.
Menurut Soroush, agar umat Islam bisa membedakan antara Islam yang benar dan murni (yang sesuai dengan doktrin) dengan Islam yang hasil tafsiran, harus membedakan antara pengetahuan agama yang merupakan hasil pemahaman dari teks tersebut (syarh) dengan agama sebagai teks suci (syari`); atau Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran.
Islam sebagai identitas merupakan alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa yang saat ini dikenal dengan ‘krisis identitas’ atau hasil penyikapan terhadap realitas. Dari sini lahirlah Islam yang berwajah sekte atau mazhab dan Islam yang bercampurbaur dengan budaya lokal atau yang telah disesuaikan dengan konteks zaman. Sementara Islam sebagai kebenaran merupakan Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Islam inilah yang dijalankan dan didakwahkan Nabi Muhammad saw yang misinya menyeru manusia kepada kebenaran dengan jalan damai.[2]
Pemikiran Soroush tersebut merupakan bentuk kritik terhadap kalangan Muslim ortodoks yang membuat pengetahuan agama menjadi suatu doktrin yang sakral, bahkan hampir disamakan dengan wahyu. Contohnya disiplin fikih, tasawuf, teologi (kalam), tafsir, dan filsafat—yang merupakan hasil interpretasi para ulama atas nash-nash Islam—hingga kini masih tertutup untuk dikritisi. Apabila ada yang berupaya mengkritisinya akan dianggap menentang agama. Fakta ini banyak ditemukan dalam bentuk fatwa-fatwa fikih. Kaum Muslim tidak berani untuk keluar dari fatwa-fatwa ulama, bahkan mengikat dirinya dengan produk intrepretasi yang dilegalkan melalui institusi agama atau otoritas ulama ternama.
Terjadinya sakralisasi itulah yang membuat Soroush mewacanakan kembali tentang agama sebagai produk Ilahi (syari`) dan pemahaman agama yang merupakan produk pemikiran atau penafsiran manusia terhadap agama itu sendiri (syarih).
Menurut Soroush, disiplin agama Islam seperti fikih, teologi (kalam), tasawuf, dan sistem pemerintahan yang digunakan di negara-negara Islam, pada dasarnya terlahir dari sebuah upaya memahami wahyu. Karena itu, kedudukannya tidak sakral dan bisa mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan konteks zaman. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka mengubah pemahaman agama menjadi ideologi atau ideologisasi agama. Mereka lebih senang menggunakan Islam demi kepentingan identitasnya (baca: politik, ekonomi, budaya, dan mazhab) ketimbang sebagai jalan kedamaian dan kebenaran.
Fakta adanya kepentingan identitas inilah yang bisa dianggap bentuk ideologisasi agama; dan ini tidak hanya terjadi di dunia Islam, tetapi juga pada agama-agama lainnya. Mereka dengan dalih menjaga kesucian agama, menolak berhubungan dengan komunitas agama di luarnya.
Akibatnya, agama menjadi tertutup dan kaku karena ideologisasi agama selalu menginginkan yang ideal, bersifat fanatis, dan berpikiran sempit. Inilah bentuk kecacatan dalam agama yang diakibatkan oleh pemahaman para penganutnya.
Dari ideologisasi agama ini, kata Soroush, yang paling berbahaya adalah sikap ketaatan buta kepada ulama dan mencampuradukkan antara ‘agama’(syari`) dengan ‘pemahaman agama’ (syarih). Sikap tersebut akan menjebak umat beragama dalam ajaran yang tidak benar dan melupakan fitrah manusia di tengah kehidupan masyarakat. Sikap ketaatan buta ini bila tetap masih melekat akan membuat orang yang beragama itu menghambakan dirinya pada ajaran agama (pemahaman agama) dan melupakan Tuhan.
Mereka yang terjebak dalam sikap ini hidupnya cenderung asosial, eksklusif, fanatik, dan selalu sentimen kepada pemeluk agama lain. Inilah bahayanya kalau pemahaman agama disakralkan dan menjadi ideologi.
Agar kaum Muslim tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru harus berupaya memahami makna kebenaran agama itu sendiri. Menurutnya, nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis yang mengetahui hanya pencipta agama itu sendiri, yaitu Tuhan. Tidak ada satu pihak pun yang berhak merasa (mengaku) paling tahu tentang kebenaran agama. Sementara untuk melacak kebenaran historis sebuah agama dapat dilihat dari sejauhmana agama tersebut bermanfaat dan dapat membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan maupun masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.
Mengenai kebenaran agama, Soroush menuturkan, “Saya percaya bahwa kebenaran di mana pun sama; tidak mungkin kebenaran berselisih dengan kebenaran. Semua kebenaran adalah pemukim ditempat yang sama dan bintang-bintang dari yang rasi sama. Satu kebenaran yang berada disudut dunia pasti bersesuaian dengan semua kebenaran ditempat lain. Jika tidak, itu bukan kebenaran. Oleh karena itu, saya tidak pernah lelah mencari kebenaran di arena intelek dan opini yang beragam. Kebenaran sungguh suatu rahmat sebab kebenaran mendorong pencarian secara terus-menerus dan melahirkan pluralisme yang sehat.”[3]
Soroush juga menegaskan bahwa dalam pemahaman keagamaan sangat diperlukan adanya dinamika pemikiran yang bersifat kritis dan progresif. Karenanya, keberadaan ilmu agama atau pemahaman agama harus diposisikan sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan relatif; karena masalah-masalah zaman dan kebutuhan manusia tidaklah baku, tapi berubah dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Apabila agama tersebut ingin tetap ada, maka agama sebagai doktrin atau ajaran berupa nash-nash itu harus mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia serta menjadi solusi pada setiap zaman.
Pada konteks inilah penafsiran terhadap nash-nash agama dan ijtihad harus selalu dilakukan para pemuka agama; sehingga keberadaan agama itu sendiri akan selalu aktual dan mampu menjadi solusi bagi kehidupan manusia. Seperti halnya ilmu biologi, fisika, kimia, astronomi, dan politik, senantiasa mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Mengapa demikian? Soroush menjawab: ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna ataupun berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan budaya yang senantiasa berubah. Sehingga pemahaman keagamaan mutlak untuk dikembangkan dan disempurnakan; karena dengan aktivitas itu merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat membangkitkan kemajuan umat beragama atau peradaban Islam. ***
catatan akhir
[1] Abdul Karim Soroush lahir di Teheran, Iran, pada 1945. Pendidikan menengah diselesaikan di Sekolah Menengah Murtazawi dan Sekolah Menengah Alawi. Soroush melanjutkan kuliah di Jurusan Farmakologi Universitas Teheran, Iran, dan mengambil program doktor bidang sejarah dan filsafat sains di Chelsea College, London, Inggris. Saat belajar di Sekolah Dasar, Soroush menyenangi puisi-puisi karya Sa`di dan sering membuat puisi. Ia sempat menjadi anggota Anjoman-e Hojatiyyeh (organisasi yang khusus mengkaji tradisi Syi`ah dan ajaran-ajaran Bahai`) dan terlibat dalam organisasi non-sekterian Muslim Qurani. Karier yang sempat dijalani Soroush adalah Direktur Laboratorium (produk makanan) Toiletteries, dosen Universitas Teheran, profesor tamu untuk studi Islam di universitas-universitas Amerika Serikat (Harvard, Yale, dan Princeton), anggota Dewan Revolusi Kebudayaan yang didirikan Imam Khomeini untuk membahas sistem pendidikan dan mereview silabus pelajaran Iran. Kecenderungan berpikir liberal dan pluralis, Soroush oleh lembaga Foreign Policy termasuk dalam 100 tokoh intelektual dunia yang berpengaruh. Sayangnya, pemikiran-pemikiran Abdul Karim Soroush tidak mendapat “tempat” yang baik bagi pemerintah Iran sehingga hijrah ke negeri Barat dengan menjadi gurubesar. Salah satu bukunya yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berjudul “Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama” yang diterbitkan Mizan, Bandung, dengan dibei pengantar oleh Dr.Haidar Bagir.
[2] Gagasan ini dilontarkan juga oleh Murtadha Muthahhari yang menyebutkan bahwa Islam waqi’i merupakan Islam sejati yang memikul ruhiyah samawiyah; yang berlawanan dengan Islam geografis atau mengaku-ngaku saja (al-jughrafi). Lihat Jalaluddin Rakhmat dalam Islam dan Pluralisme: Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (Bandung: Mizan, 2006). Pemikiran ini dikemukakan pula oleh Marshall G.S.Hodgson dalam buku The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia (terjamahan Dr.Mulyadhi Kartanegara dari judul asli: The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Volume one: The Classical Age of Islam, Book one: The Islamic Infusion: Genesis a New Social Order) yang diterbitkan Penerbit Paramadina, Jakarta, tahun 1999. Hodgson membedakannya jadi tiga: Islamic (Islam sebagai nilai dan doktrin), Islamicate (Islam yang mewujud dalam diri seorang Muslim yang keberadaannya itu dipengaruhi budaya lokal dan pemikirannya/Islam yang bercorak budaya), dan Islamdom (Islam dalam konteks negara atau wilayah/komunitas Muslim dari aspek statistik-kuantitas).
[3] Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama (Bandung: Mizan, 2002) H.27