SPI-BANDUNG
Topik:
Gagasan Islam Moderat dalam Ruang Media untuk Konstruksi Sosial Moderasi Beragama di Indonesia
Wahyudin Darmalaksana
Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
yudi_darma@uinsgd.ac.id
Tahap 1
Permasalahan Utama, Rumusan Masalah, Tujuan, dan Manfaat Penelitian
Permasalahan utama penelitian ini adalah terdapat gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia.
Sejalan dengan permasalahan utama, rumusan masalah penelitian ini ialah bagaimana gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk membahas gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia.
Sebuah penelitian ilmiah lazim memiliki manfaat dan kegunaan, baik teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memiliki implikasi manfaat dan kegunaan sebagai kajian awal tentang gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memiliki implikasi manfaat dan kegunaan untuk pengembangan secara lebih serius dalam kajian tentang gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia.
Tahap 2
Hasil Penelitian Terdahulu dan Pesamaan serta Perbedaannya dengan Penelitian Sekarang
Hasil penelitian terdahulu terkait Islam moderat dalam ruang media serta pandangan tentang moderasi beragama telah dilakukan oleh sejumlah peneliti. Antara lain laporan penelitian paling terbaru dilakukan oleh
Azisi, Ali Mursyid (2022), “Gerakan Ideologi Keagamaan: Studi Analisis terhadap Perebutan Makna “Demokrasi” oleh Kelompok Islam Ekstrem dan Moderat di Media Sosial,” UIN Sunan Ampel Surabaya. Penelitian ini telah berusaha mengkaji tentang gerakan ideologi keagamaan yang memilih fokus pada perebutan makna “demokrasi” oleh kelompok Islam ekstrem yang identik eksklusif, fanatik berlebihan, dan tekstualis serta kelompok Islam moderat dengan ciri khasnya yang lebih pluralis, dinamis, kontekstualis, dan toleran dalam menyikapi politik elektoral, demokrasi, khususnya di media sosial. Penelitian ini membatasi kelompok Islam ekstrem pada Salafi-Wahabi dan Gema Pembebasan, sedangkan Islam moderat diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU), yang masing-masing keduanya memiliki cara pandang dan dasar tersendiri dalam menyikapi demokrasi di media sosial. Peneliti mengasumsikan bahwa adanya perbedaan cara pandang tersebut, maka memberikan gambaran tentang beragamnya klaim kebenaran interpretasi dalam menyikapi politik elektoral yang diterapkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode studi media, dengan memaparkan bukti-bukti klaim Islam ekstrem dan Islam moderat di akun media sosial dari masing-masing kubu Islam tersebut. Penelitian ini meminjam teori wacana Teun A. Van Dijk, yang di dalamnya terdapat tiga dimensi yang digabungkan dan saling berkaitan, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial sebagai langkah yang digunakan dalam menganalisis wacana perebutan makna demokrasi di media sosial yang menjadi fokus penelitian ini. Dari sini dihasilkan sebuah temuan klaim kebenaran menurut Islam dalam pandangan kelompok Islam ekstrem, bahwa demokrasi merupakan politik bunglon, dianggap zalim karena produk dari Barat, tidak sesuai dengan syariat Islam, dan bahkan menganggap sistem khilafah selayaknya diterapkan di Indonesia. Sedangkan kubu Islam moderat memandang bahwa demokrasi adalah jalan yang sah dalam menentukan pemimpin Indonesia di masa depan (nashbul imamah), tidak bertentangan dengan syariat, dan bahkan berupaya menggaungkan upaya mempertahankan demokrasi (Azisi, 2022).
Hasil penelitian terdahulu dan penelitian sekarang memiliki kesamaan dan sekaligus perbedaan. Penelitian terdahulu dan penelitian sekarang sama-sama meneliti Islam dalam ruang media. Perbedaannya adalah penelitian terdahulu membahas perebutan makna demokrasi dalam media sosial antara kelompok Islam ekstrim dan kelompok Islam moderat, sedangkan penelitian sekarang membahas gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia.
Tahap 3
Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir perlu disusun sebagai alur logis secara garis besar berjalannya penelitian. Alur logis ini akan diarahkan untuk mengatasi permasalahan utama dalam penelitian ini, yaitu terdapat gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia. Untuk memudahkan deskripsi kerangka berpikir, maka disajikan bagan seperti di bawah ini:
Bagan 1. Kerangka Berpikir
Gagasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hasil pemikiran atau ide (Setiawan, 2021). Sedangkan moderat ialah selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem atau berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah (Setiawan, 2021). Dengan demikian, gagasan Islam moderat berarti hasil pemikiran atau ide Islam yang selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem atau berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Posisi jalan jalan tengah Islam moderat dipahami berusaha menjadi titik temu antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri (Alawi & Maarif, 2021). Daripada itu, gagasan Islam moderat disajikan dengan istilah al-muwājahah yang artinya memberi solusi atau memberi contoh yang terbaik (Sodikin & Ma`arif, 2021). Karenanya, Islam moderat dipandang sebagai ajaran yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan tidak meninggalkan ajaran-ajaran sesudahnya (Ginting, Pradesyah, Amini, & Panggabean, 2021). Konsep Islam moderat selama ini menjadi ciri khas Islam di Nusantara (Wahyudi, 2018), atau menjadi ciri khas Islam Indonesia, yang berbeda dengan Islam di belahan dunia lain (Suharto, 2017). Islam moderat tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia yang telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertoleransi di kancah nasional khususnya dan dunia umumnya (Abdurrohman, 2018). Selebihnya, pesan-pesan Islam moderat dilakukan sebagai upaya aktivitas amar ma’rûf nahî munkar yang berdimensi rahmatan lil âlamîn yang diproduksi secara inovatif dalam konteks digital (Fakhruroji, Rustandi, & Busro, 2020).
Ruang media (media space) merupakan istilah untuk ruang publik media sosial (Mastori & Islamy, 2021) yang sering disebutkan dalam era kemajuan teknologi informasi dewasa ini. Ruang media sosial yang disebut juga sebagai ruang elektronik atau ruang digital (Hefni, 2020) digunakan oleh individu dan kelompok untuk menyampaikan berbagai hal, termasuk gagasan-gagasan agama dengan bahasa agama (Fakhruroji et al., 2020; Hefni, 2020; Jasmine, 2021). Ruang media sosial ini dibentuk oleh masyarakat dan berperan membentuk masyarakat (Marpaung & Irwansyah, 2021).
Konstruksi sosial atau “bangunan” realitas sosial dimungkinkan sebagai subjek yang dibentuk melalui media sosial, disebut dengan istilah konstruksi sosial media massa (Bungin, 2000). Isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahasa sebagai perangkat dasarnya (Suryadi, 2011). Sebelum ada ruang media tampak ruang sosial ini merupakan produk sosial yang diproduksi secara sosial oleh pengguna yang dalam hal ini adalah masyarakat (Santoso, 2015), tetapi setelah menjamurnya media sosial maka terbentuk konstruksi sosial teknologi dan media baru (Nurhadi & Irwansyah, 2018). Sehingga tegaslah bahwa ruang media pada gilirannya berperan besar dalam membentuk konstruksi sosial (Sulistianti & Sugiarta, 2022).
Moderasi beragama merupakan salah satu isu serta agenda arus utama Islam moderat dalam ruang media. Moderasi bergama dipahami sebagai sikap beragama yang toleran (Husna, 2022). Dipahami bahwa moderasi beragama adalah cara pandang (Khamim, 2022) tentang wasathiyah (Rohmah & Badriyah, 2022) sebagai konsep yang dinilai dapat menghubungkan antar-umat beragama (Hananto, 2022). Di dunia Islam, ia merupakan bentuk usaha menanamkan nilai moderasi Islam dalam beragama (Hidayah, 2022). Di tanah air, moderasi beragama merupakan isu utama dan menjadi orientasi program Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI.) (Yusuf & Mutiara, 2022). Gagasan Islam moderat tentang moderasi beragama yang menjadi subjek pengarusutamaan di ruang digital (Hefni, 2020), sebagai ruang perebutan makna (Azisi, 2022), secara signifikan telah membentuk konstruksi sosial kehidupan umat beragama yang tentram dan damai di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif-analitis (Darmalaksana, 2020). Jenis data penelitian ini merupakan data kualitatif yang bukan angka-angka statistik. Sumber primer penelitian ini meliputi akun-akun media sosial di Twitter, Instagram, dan Facebook dan sumber-sumber literatur tentang Islam moderat, ruang media, konstruksi sosial, dan moderasi beragama. Sumber sekunder penelitian ini meliputi rujukan-rujukan yang terkait dengan topik utama yang bersumber dari artikel, buku, dan dokumen hasil penelitian lainnya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi sosial media dan studi pustaka. Teknik analisis data dilakukan melalui tahapan inventarisasi, klasifikasi, dan analisis data (Darmalaksana, 2022).
Penelitian ini tanpa menentukan waktu dan tempat karena bukan merupakan penelitian eksperimen, melainkan penelitian pemikiran meskipun data-data diambil dari fakta empiris pada media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook.
Tahap 5
Landasan Teoritis
Landasan teoritis dalam penelitian ini menggunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger. Landasan teoritis ini akan digunakan sebagai pisau analisis dalam membahas topik utama penelitian, yaitu gagasan Islam moderat dalam ruang media, khususnya gagasan Islam moderat terkait moderasi beragama dalam perwujudannya sebagai konstruksi sosial di Indonesia.
Mizan, A. N. (2009) telah mengemukakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dengan baik ketika ia mencari asal-usul sistem masyarakat agama terbentuk oleh masyarakatnya dengan mengajukan satu pertanyaan apakah sistem masyarakat agama terjadi atas pengetahuan dan pengaruh individu atau bahkan sebaliknya (Mizan, 2016). Berdasarkan studi terhadap teori konstruksi sosial Peter L. Berger ditemukan bahwa sistem sosial masyarakat agama terbentuk atas dialektika antara diri manusia dengan dunia sosio-kulturnya. Dalam hal ini, masyarakat merupakan produk manusia, dan manusia ialah produk masyarakat. Berger dan Luckmann (1991) percaya bahwa terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu (Berger & Luckmann, 1991). Sedangkan proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi (Berger & Luckmann, 1991; Mizan, 2016). Eksternalisasi, sebagai tahap pertama, yaitu proses di mana manusia menuangkan diri kemanusiaannya ke dalam dunia lingkungannya, sehingga pada gilirannya dunianya itu menjadi sebagai dunia manusia. Pada saat dunia yang telah terbentuk melalui eksternalisasi tersebut semakin mengukuhkan diri dan kembali menggapai manusia sebagai suatu faktisitas yang berdiri sendiri, maka selanjutnya sebagai tahap kedua proses tersebut memasuki tahapan objektivitas. Bahkan, agar dunia objektif tersebut tidak menjadi asing untuk manusia yang telah menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian dari subjektivitas manusia sebagai bagian dari struktur subjektif kesadaran. Pada tataran inilah tahapan ketiga dari proses dialektika ini, yakni internalisasi (Berger & Luckmann, 1991; Mizan, 2016). Teori Berger dan Luckmann (1991) tentang konstruksi sosial ini ternyata dapat dijelaskan dengan menggunakan teori tahamul ‘ada al-hadits (Soetari, 2005) dalam mewujudkan sunnah di masyarakat sebagai bentuk konstruksi sosial umat muslim.
Suatu kerja ilmiah selalu membutuhkan adanya objek formal, yaitu subjek teori yang membahas objek bahasan dan objek material, yakni materi yang dibahas oleh objek formal (Parluhutan, 2020). Teori konstruksi sosial Peter L. Berger yang akan lebih dipahami melalui teori tahamul ‘ada al-hadits, pada penelitian ini menempati posisi sebagai objek formal. Sedangkan gagasan Islam moderat menjadi objek materialnya. Adapun ruang media sosial menjadi lokus atau lingkup (scope) yang menjadi wadah (ruang) ditemukannya gagasan Islam moderat. Selebihnya, konteks penelitian ini adalah konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia.
Gambar 1 menunjukkan akun-akun media sosial pada Twitter, Instagram, dan Facebook. Pencarian pada media-media sosial tersebut menggunakan kata kunci “Islam Moderat” pada pukul 19.00 WIB., tanggal 10 Juli 2022. Di media-media sosial tersebut muncul akun-akun, baik spesifik bernama Islam Moderat maupun nama-nama lain yang bersinggungan atau beririsan dengan Islam moderat seperti halnya Islam Progresif. Sajian pada Gambar 1 hanya berupa contoh saja, sebab ditemukan banyak sekali akun-akun terkait Islam moderat pada masing-masing media sosial. Di antara akun tersebut ada yang diikuti oleh 12 ribu orang follower (pengikut). Beberapa akun tampak terkoneksi atau terintegrasi antara Twitter, Instagram, dan Facebook. Sebagian menampilkan gambar berisi teks yang biasa disebut dengan istilah meme, ada pula yang menayangkan audio visual video, dan kebanyakan merupakan ungkapan-ungkapan sekitar berbagai gagasan Islam moderat. Pada beberapa akun berlangsung interaktif antara pemilik atau pemegang akun dengan audiens, baik berupa pernyataan audiens dalam menanggapi konten berita maupun pertanyaan terkait isu yang tengah disajikan oleh pemegang akun. Beberapa akun tersebut merupakan milik personal, dan beberapa akun yang lain merupakan milik lembaga, organisasi, atau kelompok. Sejumlah akun tampak tidak melakukan update, dan keberadaannya seperti situs kosong tanpa dikelola, tetapi banyak pula akun yang terus aktif hingga 21 ribu postingan. Sekali lagi ini hanya contoh-contoh akun Islam moderat hasil penelusuran terkini.
1. Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi Gagasan Islam Moderat dalam Ruang Media
Gagasan Islam moderat dalam ruang media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan Facebook, akan membentuk realitas nyata dalam sistem sosial. Asumsi ini dibangun berdasarkan teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann (Berger & Luckmann, 1991).
Berger dan Luckmann ketika merumuskan teori konstruksi sosial belumlah menunjuk media massa seperti televisi terlebih media sosial digital sebagai pembentuk realitas sosial. Mereka hanya menyatakan bahwa individu membentuk masyarakat, dan sebaliknya individu dibentuk oleh masyarakat. Hal ini disebut proses dialektika yang berlangsung melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi (Berger & Luckmann, 1991). Apabila teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann ini dipinjam untuk membaca ruang media sosial, maka pada dasarnya berlangsung pula proses individu dan masyarakat membentuk ruang media sosial, dan sebaliknya individu dan masyarakat membentuk realitas ruang media sosial. Para peneliti sepakat bahwa ruang media sosial yang berupa ruang terbuka untuk publik secara digital (Hefni, 2020) akan digunakan oleh individu dan kelompok untuk mengakses dan sekaligus menyampaikan berbagai hal, termasuk di dalamnya gagasan-gagasan keagamaan (Fakhruroji et al., 2020; Hefni, 2020; Jasmine, 2021), sehingga tegaslah bahwa ruang media tersebut dibentuk oleh individu dan masyarakat serta sekaligus berperan besar pula dalam membentuk individu dan masyarakat (Marpaung & Irwansyah, 2021).
Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann tampaknya lebih mudah dipahami melalui teori ilmu hadis. Hal ini bukan karena penulis konsen di bidang ilmu hadis dan ilmu hukum Islam, melainkan perlu juga membuktikan ternyata teori dari khazanah Islam yang lebih awal muncul memiliki kemiripan dengan teori Peter L. Berger yang hadir belakangan. Di dalam khazanah ilmu hadis ada yang disebut dengan teori tahamul ‘ada al-hadits (Soetari, 2005), yaitu proses periwayatan (transmisi) melalui tahamul (penerimaan), dhabtun (pemeliharaan), dan al-‘ada (penyampaian) berita (khabar) atau informasi (Soetari, 2005). Dalam hal ini, proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam teori konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991), berarti sama persis dengan al-‘ada (penyampaian), dhabtun (pemeliharaan), dan tahamul (penerimaan) dalam teori tahamul ‘ada al-hadits (Soetari, 2005). Dengan perkataan lain, al-‘ada adalah eksternalisasi, dhabtun ialah objektivasi, dan tahamul yaitu internalisasi. Dengan demikian, ternyata teori konstruksi sosial Peter L. Berger bisa dipahami dari teori khazanah Islam yang muncul lebih awal.
Sebagaimana Peter L. Berger ketika menyusun teori konstruksi sosial tidak menunjuk media sosial sebagai pembentuk masyarakat, dan begitu halnya teori tahamul ‘ada al-hadits tidak menunjuk media sosial sebagai pembentuk masyarakat. Karena di masa Islam klasik pada abad ke 8 belum ada media sosial. Namun, teori tahamul ‘ada al-hadits niscaya menghasilkan konstruksi sunnah dalam sistem sosial masyarakat muslim yang terus berlangsung (Soetari, 2005). Sedangkan teori Peter L. Berger menghasilkan konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991). Pada tataran tertentu, sunnah pun dapat dipahami sebagai konstruksi sosial.
Gagasan Islam moderat mula-mula diproduksi untuk kemudian diposting, diunggah, atau disebarkan di ruang media, seperti Twitter, Instagram, dan Facebook, di mana posting, kiriman, atau unggahan ini disebut eksternalisasi dalam teori konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991) dan al-‘ada dalam teori transmisi hadis (Soetari, 2005). Lalu, gagasan Islam moderat dalam ruang media tersebut diakses, dibaca, atau direspon oleh audien atau publik masyarakat digital, di mana pembacaan ini disebut objektivasi dalam teori konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991) dan dhabtun dalam teori transmisi hadis (Soetari, 2005). Terakhir, hasil objektivasi tersebut kemudian gagasan Islam moderat dalam ruang media sosial tersebut mengalami proses internalisasi kembali menurut teori konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991) dan tahamul (penerimaan) menurut teori transmisi hadis (Soetari, 2005). Maka di situlah terjadi dialektika, yakni individu dan masyarakat mencipta ruang media, dan sebaliknya ruang media menciptakan individu dan masyarakat berwawasan gagasan Islam moderat.
Tegaslah terjadi dialektika antara penyampai gagasan Islam moderat dalam ruang media, seperti Twitter, Instagram, dan Facebook, dengan pembaca gagasan Islam moderat tersebut yang diperoleh dari ruang-ruang media sosial tadi. Dialektika ini berlangsung melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi menurut teori konstruksi sosial (Berger & Luckmann, 1991). Demikian halnya, sunnah sebagai sistem sosial umat muslim terbentuk melalui eksternalisasi (al-‘ada), objektivasi (dhabtun), dan internalisasi (tahamul). Tegas pulalah bahwa proses dialektika ini pada gilirannya berperan besar dalam membentuk realitas sosial umat muslim berwawasan gagasan Islam moderat dalam kehidupan nyata (real).
2. Gagasan Islam Moderat dalam Ruang Media sebagai Pembentuk Konstruksi Sosial Moderasi Beragama di Indonesia
Gagasan Islam moderat di dalam ruang media sosial secara garis besar adalah ide-ide tentang moderasi beragama. Sebagaimana telah ditegaskan terdahulu bahwa moderasi beragama adalah sebuah word view (Khamim, 2022) dan sikap keberagamaan yang toleran (Husna, 2022) didasarkan pada prinsip nilai wasathiyah (Rohmah & Badriyah, 2022), dimana gagasan ini dinilai dapat mewujudkan kerukunan, keharmonisan, dan perdamaian antar-umat beragama (Hananto, 2022). Gagasan tentang moderasi beragama inilah yang dijadikan arus utama oleh pengusung Islam moderat di ruang media, seperti Twitter, Instagram, dan Facebook.
Mula-mula terbentuk konstruksi sosial media massa (Bungin, 2000), bahkan konstruksi sosial teknologi dan media baru (Nurhadi & Irwansyah, 2018) menuju ke arah metaverse (Indarta et al., 2022). Isi dari konstruksi sosial media ini antara lain ide-ide moderasi beragama dari kelompok Islam moderat sebagai antithesis Islam ekstrim (Azisi, 2022), di mana isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahasa sebagai perangkat dasarnya (Suryadi, 2011). Dalam konteks bahasa agama, disebutkan bahwa pesan-pesan Islam moderat diupayakan sebagai langkah amar ma’rûf nahî munkar yang berlandaskan prinsip nilai rahmatan lil âlamîn, di mana ia diproduksi secara kreatif dan inovatif dalam bentuk penyebaran konten digital (Fakhruroji et al., 2020). Jadi dimulai isi konten dalam ruang media, lalu kemudian terbentuk konstruksi sosial media digital (Bungin, 2000; Nurhadi & Irwansyah, 2018). Konstruksi sosial metaverse ini, yang bernama ruang media,
pada gilirannya nanti berperan besar dalam membentuk konstruksi sosial (Sulistianti & Sugiarta, 2022).
Memang ruang sosial, sebelum ada ruang media, ia merupakan produk sosial yang diproduksi secara sosial oleh masyarakat (Santoso, 2015). Namun, ruang media selain sebagai kontruksi sosial media, ia pun akan membentuk konstruksi sosial (Sulistianti & Sugiarta, 2022). Telah disinggung terdahulu bahwa masyarakat merupakan produk manusia melalui eksternalisasi. Lalu, melalui objektivasi, masyarakat menjadi suatu realitas sui genesis, unik (Mizan, 2016). Lantas, melalui internalisasi, maka jadilah manusia sebagai produk masyarakat. Hal ini berarti ada proses menarik keluar, eksternalisasi, sehingga seakan-akan berada di luar, objektivasi, dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam, internalisasi, sehingga sesuatu yang berada di luar seakan berada di dalam. Pada kenyataan ini jelaslah bahwa masyarakat adalah produk individu sehingga menjadi kenyataan objektif melalui proses eksternalisasi dan individu juga produk masyarakat melalui proses internalisasi (Mizan, 2016). Demikian halnya dalam proses tahamul ‘ada al-hadits bahwa yang diterima mula-mula merupakan formal hadis secara tekstual (Soetari, 2005), tetapi kemudian setelah melembaga ia dieksternalisasi dalam wujud konstruksi sosial sunnah dalam sistem masyarakat umat muslim. Di sini, hal yang dieksternalisasi adalah nilai-nilai sublime hasil objektivasi dan subjektivasi. Dialektika ini berlangsung juga dalam konstruksi sosial media, bukan di dalam konstruksi sosial yang nyata saja.
Setelah proses dialektika terjadi dan berjalan, maka terbentuklah suatu pembenaran, justifikasi, nilai (Mizan, 2016). Tentunya, nilai-nilai yang dipahami dan dilaksanakan dalam masyarakat sangatlah beragam dengan sumber yang beragam pula. Misalnya, berasal dari ide Islam moderat dan ide Islam ekstrim (Azisi, 2022). Selain itu, ada yang bersumber dari agama, adat istiadat, hukum, norma, budaya, dan lain-lain. Meskipun demikian, di antara sejumlah nilai yang menjadi rujukan manusia untuk berperilaku, pastilah ada beberapa nilai yang memiliki ketegasan serta sekaligus harapan untuk memberikan arah kehidupan. Bahwa nilai-nilai itu memberikan sesuatu kepada manusia yang tidak ditemukan dalam nilai-nilai yang lainnya. Berdasarkan pemikiran Peter L. Berger, nilai yang dapat memberikan orientasi lebih bila dibandingkan dengan sistem nilai lain adalah religion (agama). Bagi Peter L. Berger, agama mampu memberikan jawaban serta harapan kedamaian ketika manusia menemui peristiwa-peristiwa yang ekstrem. Di sini, apa yang disebut “orientasi dalam” (inner orientation), yang berada dalam sistem nilai agama tidak ditemukan di dalam sistem lainnya. Sehingga, agama memberikan acuan sosiologis sekaligus keimanan dalam tindakan dan perilaku manusia (Mizan, 2016). Terkait hal ini, moderasi beragama adalah bentuk usaha menanamkan nilai moderasi Islam dalam beragama (Hidayah, 2022).
Di tanah air, moderasi beragama merupakan isu utama dan menjadi orientasi program Kemenag RI (Yusuf & Mutiara, 2022). Moderasi beragama, sebagai isu utama Islam moderat, disajikan secara al-muwājahah dalam artinya memberi solusi atau memberi contoh yang terbaik (Sodikin & Ma`arif, 2021). Hal semacam ide moderasi beragama ini dipahami oleh Islam moderat sebagai ajaran nilai yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan ajaran-ajaran sesudahnya (Ginting et al., 2021). Pada posisi ini Islam moderat memilih jalan tengah yang mengupayakan titik temu antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri (Alawi & Maarif, 2021). Islam moderat dengan berbagai ide-idenya tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia dan telah memberikan sumbangsih yang berharga bagi kelangsungan hidup bertoleransi di kancah nasional dan dunia (Abdurrohman, 2018). Ditegaskan bahwa Islam moderat menjadi ciri khas Islam Indonesia, yang tidak ditemukan di belahan dunia lain (Suharto, 2017). Sejauh ini, pandangan Islam moderat menjadi ciri khas Islam di Nusantara (Wahyudi, 2018). Ternyata gagasan Islam moderat, khususnya tentang moderasi beragama yang menjadi subjek pengarusutamaan di ruang digital (Hefni, 2020), yang disebut-sebut sebagai ruang perebutan makna (Azisi, 2022), tampak secara signifikan telah membentuk konstruksi sosial pada sistem kehidupan umat beragama yang memperjuangkan kedamaian di Indonesia.
Meskipun demikian posting ide-ide moderasi beragama pada akun-akun Islam moderat di ruang media sosial tampak masih perlu sentuhan pengembangan dalam lanskap metaverse di masa depan (Gambar 1). Beberapa akun hanya melakukan repost atau membagikan kembali konten orang lain, bukan produksi konten, hal ini seperti tampak di media Facebook. Juga pada media Twitter tampak lebih banyak retweet dalam arti membagikan ulang postingan orang lain. Pada media Instagram telihat akun-akun Islam moderat lebih banyak membagi reel video yang belum tentu video tersebut hasil kreativitas dan inovasi pemegang akun. Pada akun-akun Islam moderat juga langka dialog, padahal dialog merupakan sarana pencerdasan. Sungguh pun demikian, harus diakui bahwa akun-akun Islam moderat di ruang media sosial terbukti telah turut membentuk konstruksi sosial moderasi agama di Indonesia.
Tahap 10
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan ternyata gagasan Islam moderat dalam ruang media telah mewujud dalam bentuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia. Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia terbentuk berdasarkan konstruksi sosial media digital yang dikerangkai oleh gagasan-gagasan Islam moderat pada ruang media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memiliki implikasi manfaat dan kegunaan sebagai kajian awal tentang gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memiliki implikasi manfaat dan kegunaan untuk pengembangan secara lebih serius dalam kajian tentang gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia. Penelitian ini memiliki keterbatasan tanpa melakukan studi lapangan melalui wawancara, sehingga hal ini menjadi peluang penelitian lebih lanjut untuk kajian empiris secara lebih terukur. Penelitian ini merekomendasikan kepada lembaga dan organisasi keislaman untuk melakukan pengelolaan ruang media sosial secara kreatif, inovatif, dan solutif dalam pengarusutamaan moderasi beragama di Indonesia.
Tahap 11
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membahas gagasan Islam moderat dalam ruang media untuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif-analitis. Objek formal penelitian ini adalah teori konstruksi sosial, sedangkan objek materialnya ialah gagasan Islam moderat. Adapun lingkup penelitian yaitu ruang media sosial. Selebihnya, konteks penelitian ini yakni konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia. Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia terbentuk berdasarkan konstruksi sosial media digital yang dikerangkai oleh gagasan-gagasan Islam moderat pada ruang media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook. Penelitian ini menyimpulkan ternyata gagasan Islam moderat dalam ruang media telah mewujud dalam bentuk konstruksi sosial moderasi beragama di Indonesia. Penelitian ini merekomendasikan kepada lembaga dan organisasi keislaman untuk melakukan pengelolaan ruang media sosial secara kreatif, inovatif, dan solutif dalam pengarusutamaan moderasi beragama di Indonesia.
Kata Kunci: Islam; Konstruksi sosial; Moderasi; Ruang media
Abstract
This study aims to discuss the idea of moderate Islam in the media space for the social construction of religious moderation in Indonesia. This study uses a qualitative approach by applying the descriptive-analytical method. The formal object of this research is the theory of social construction, while the material object is the idea of moderate Islam. The scope of research is the social media space. The rest, the context of this research is the social construction of religious moderation in Indonesia. The results and discussion in this study indicate that the social construction of religious moderation in Indonesia is formed based on the social construction of digital media which is framed by moderate Islamic ideas in the social media space of Twitter, Instagram, and Facebook. This study concludes that the idea of moderate Islam in the media space has manifested itself in the form of social construction of religious moderation in Indonesia. This study recommends Islamic institutions and organizations to manage the social media space creatively, innovatively, and so as a solution in mainstreaming religious moderation in Indonesia.
Keywords: Islam; Media space; Moderation; Social construction
Daftar Pustaka
Abdurrohman, Asep Abdurrohman. (2018). Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam. Rausyan Fikr: Jurnal Pemikiran Dan Pencerahan, 14(1).
Alawi, Hapsi, & Maarif, Muhammad Anas. (2021). Implementasi Nilai Islam Moderat Melalui Pendidikan Berbasis Multikultural. Journal of Research and Thought on Islamic Education, 4(2), 214–230.
Azisi, Ali Mursyid. (2022). Gerakan Ideologi Keagamaan: Studi Analisis terhadap Perebutan Makna “Demokrasi” oleh Kelompok Islam Ekstrem dan Moderat di Media Sosial. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Berger, Peter L., & Luckmann, Thomas. (1991). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Penguin Uk.
Bungin, Burhan. (2000). Konstruksi Sosial Media Massa: Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Universitas Airlangga.
Darmalaksana, Wahyudin. (2020). Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Darmalaksana, Wahyudin. (2022). Panduan Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Fakhruroji, Moch, Rustandi, Ridwan, & Busro, Busro. (2020). Bahasa Agama di Media Sosial: Analisis Framing pada Media Sosial Islam Populer. Jurnal Bimas Islam, 13(2), 203–234.
Ginting, Nurman, Pradesyah, Riyan, Amini, Amini, & Panggabean, Hadi Sahputra. (2021). Memperkuat Nalar Teologi Islam Moderat dalam Menyikapi Pandemi Covid-19 di Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah Bandar Pulau Pekan. Martabe: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 30–40.
Hananto, Fariz. (2022). Penguatan Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam Mata Pelajaran Seni Budaya. Widyadewata, 5(1), 66–75.
Hefni, Wildani. (2020). Moderasi Beragama dalam Ruang Digital: Studi Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri. Jurnal Bimas Islam, 13(1), 1–22.
Hidayah, Nur. (2022). Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam Swasta Berbasis Moderasi Beragama. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 10(02).
Husna, Husnah Z. (2022). Moderasi Beragama Perspektif Al-Quran sebagai Solusi terhadap Sikap Intoleransi. Al-Mutsla, 4(1), 41–53.
Indarta, Yose, Ambiyar, Ambiyar, Samala, Agariadne Dwinggo, & Watrianthos, Ronal. (2022). Metaverse: Tantangan dan Peluang dalam Pendidikan. Jurnal Basicedu, 6(3), 3351–3363.
Jasmine, Asyifa Nadia. (2021). Komodifikasi Agama di Ruang Media Internet: Pengaruh Iklan Online di Kalangan Muslim. Universitas Gadjah Mada.
Khamim, M. (2022). Nilai Universal Islam Muhammadiyah dan NU: Potret Islam Moderat Indonesia. El-Hekam, 7(1), 17–27.
Marpaung, Yuni Novianti Marin, & Irwansyah, Irwansyah. (2021). Aplikasi Kesehatan Digital sebagai Konstruksi Sosial Teknologi Media Baru. Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media, 5(2), 243–258.
Mastori, Mastori, & Islamy, Athoillah. (2021). Menggagas Etika Dakwah di Ruang Media Sosial. Komunikasia: Journal of Islamic Communication and Broadcasting, 1(1), 1–18.
Mizan, Ahmad Nur. (2016). Peter L. Berger dan Gagasannya Mengenai Konstruksi Sosial dan Agama. Citra Ilmu, 12(24).
Nurhadi, Wahyu, & Irwansyah, Irwansyah. (2018). Crowdfunding sebagai Konstruksi Sosial Teknologi dan Media Baru. Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media, 2(2), 1–12.
Parluhutan, Alboin. (2020). Objek Formal & Material Filsafat Ilmu serta Implikasinya dalam Pendidikan. Jurnal Pionir, 7(3).
Rohmah, Siti, & Badriyah, Zakiyatul. (2022). Analisis Materi Islam Wasathiyah pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Aliyah. Jurnal Alasma: Media Informasi Dan Komunikasi Ilmiah, 4(1), 39–44.
Santoso, Didik Haryadi. (2015). Media dan Politik: Pertarungan Ruang & Kuasa Media Menjelang Pemilihan Presiden. Jurnal Simbolika: Research and Learning in Communication Study (e-Journal), 1(1).
Setiawan, Ebta. (2021). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sodikin, Ahmad, & Ma`arif, Muhammad Anas. (2021). Penerapan Nilai Islam Moderat dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi. Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, 19(2), 188–203. https://doi.org/10.32729/edukasi.v19i2.702
Soetari, Endang. (2005). Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka.
Suharto, Toto. (2017). Indonesianisasi Islam: Penguatan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 17(1), 155–178.
Sulistianti, Rossy Ayu, & Sugiarta, Nugraha. (2022). Konstruksi Sosial Konsumen Online Shop di Media Sosial Tiktok (Studi Fenomenologi tentang Konstruksi Sosial Konsumen Generasi Z pada Online Shop Smile Goddess di Media Sosial Tiktok). JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 6(1).
Suryadi, Israwati. (2011). Peran Media Massa dalam membentuk Realitas Sosial. Jurnal Academica Fisip Untad, 3(02), 634–647.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. (2020). Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Wahyudi, Winarto Eka. (2018). Tantangan Islam Moderat di Era Disruption. Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, (Series 2), 922–928.
Yusuf, Muhammad Zulfikar, & Mutiara, Destita. (2022). Diseminasi Informasi Moderasi Beragama: Analisis Konten Website Kementerian Agama. Dialog, 45(1), 127–137.