Inilah Arah Baru Publikasi Ilmiah

oleh

SPI-JAKARTA

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi membuat putusan penting terkait pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Salah satu amar putusan tersebut adalah sebagai berikut. …. ”Jika syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi tetap akan dipertahankan untuk memperoleh jabatan akademik profesor, maka tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan review ulang oleh reviewer perguruan tinggi dan/atau kementerian, sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara reguler”.

Amar Mahkamah Konstitusi (MK) ini merupakan langkah penting arah perjalanan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Bagaimana menentukan jurnal internasional bereputasi (JIB) yang kredibel, khususnya di rumpun ilmu sosial, di tengah menjamurnya jurnal internasional predator? Cukupkah bersandar pada pedoman operasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang selama ini diterapkan? Apa implikasi pilihan JIB terhadap kualitas profesor dan masa depan ilmu sosial?

Diktum Merton

Robert Merton, ahli sosiologi ilmu, berhasil menemukan arsitektur ilmu pengetahuan sebagai acuan menilai perkembangan ilmu. Penemuan ini mengawali lahirnya scientometrics, ilmu yang mempelajari kualitas dan kuantitas ilmu di setiap negara. Berikut pernyataan Merton, dikenal luas sebagai diktum Merton di dunia ilmu pengetahuan: ”Tujuan kelembagaan ilmu pengetahuan adalah perluasan pengetahuan yang telah diakui oleh komunitas akademis” (Achwan dkk, 2022).

Diktum ini mensyaratkan perluasan atau penemuan baru dari hasil riset dan diumumkan lewat jurnal internasional yang kredibel. Jurnal semacam ini menjadi rujukan akademisi sebidang ilmu di tingkat Asia Tenggara, Asia, atau dunia.

Pemilik jurnal ini biasanya universitas atau asosiasi ilmu yang terpandang. Adapun pengelolanya (board of editors) memiliki rekam jejak rentetan publikasi di jurnal prestisius. Oleh karena itu, setiap artikel yang diterbitkannya selalu melewati proses review yang ketat oleh para ahli sebidang ilmu.

Di negara maju, prasyarat seorang dosen menjadi profesor berbeda-beda. Di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Universitas California Berkeley, Amerika Serikat, ada dua syarat yang harus dipenuhi: pengaruh keilmuan calon profesor di asosiasi ilmu dan dampak global dari buku yang diterbit- kannya (Thoenig dan Paradeise, 2014).

Di Jerman, syaratnya adalah meritokrasi (serangkaian artikel di JIB rujukan), jejaring akademisi dan jender. Di negeri ini, perempuan memiliki peluang 1,5 lebih tinggi daripada pria karena kebijakan afirmatif yang ditempuh negara.

Di Singapura, meritokrasi adalah satu-satunya sistem yang berlaku. Di Indonesia, cukup satu artikel di JIB tanpa keharusan diterbitkan di jurnal rujukan sebagai syarat yang diperlukan untuk meraih jabatan profesor.

Ekosistem ilmu

Kehadiran sekelompok ahli yang jelas rekam jejak publikasinya di setiap cabang ilmu sosial adalah keharusan bagi perkembangan kualitas ilmu itu sendiri. Kelompok ahli ini merupakan komponen penting dari sejumlah komponen yang membentuk ekosistem ilmu pengetahuan. Komponen lain adalah keberadaan universitas yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu itu, keberadaan peneliti yang andal dan media ilmiah.

Di banyak negara, kelompok ahli, peneliti, dan akademisi serta jurnal ilmiah bernaung dalam asosiasi ilmu. Kelompok ahli memainkan peran penting dalam mengembangkan ekosistem ilmu karena mereka memiliki otoritas dalam menilai kualitas karya ilmiah yang akan diterbitkan dan kualitas pengajaran ilmu sosial di perguruan tinggi. Dua kualitas ini merupakan awal dari kemunculan ilmu sosial akademis yang kokoh.

Tipe ilmu sosial ini dijaga oleh keca- kapan akademisi dalam memperluas dan menyempurnakan teori dan metodologi lewat publikasi hasil riset. Ruang kuliah tak lagi berfungsi sebagai medium mentransfer ilmu dari Barat, tetapi sebagai ajang diskusi hasil produksi pengetahuan yang telah diterbitkan di JIB rujukan, oleh dosen sendiri.

Oleh karena itu, modifikasi ilmu dari Barat agar sesuai dengan konteks Indonesia adalah norma baru pengajaran di universitas. Dalam kaitan ini, nasihat Tan Malaka beberapa dasawarsa yang lalu perlu disimak: ”Belajarlah dari Barat, jangan meniru Barat. Jadilah sarjana dari Timur yang cerdas”. Kokohnya tipe ilmu sosial ini otomatis akan memberi sumbangan penting perumusan kebijakan publik ataupun kemasyarakatan.

Profesor

Putusan MK merupakan langkah penting dalam mendorong arah baru ilmu sosial. Hingga kini Ditjen Dikti telah memiliki syarat cukup rinci yang harus dipenuhi dosen yang akan meraih jabatan profesor. Salah satu syarat tersebut adalah artikel terbit di JIB, memiliki skor tertentu dari lembaga peringkat jurnal SCimago (SJR). Lembaga ini menggunakan data induk (big data) dari Scopus, lembaga nonakademik yang mendaftar jurnal ilmiah yang telah memenuhi kriteria yang disyaratkannya.

Namun, syarat Scopus ini bersifat teknis dan kurang substantif dalam menilai setiap jurnal yang mendaftar. Akibatnya, tidak sedikit jurnal yang meragukan kualitasnya tetap terindeks di Scopus dan jumlahnya terus meningkat, sungguhpun lembaga ini telah mencabut jurnal itu dalam daftar data induk.

Jurnal ini sering memiliki skor SJR yang tinggi, diterbitkan oleh penerbit kurang ternama, dikelola oleh universitas yang kurang terpandang atau oleh asosiasi ilmu yang sulit ditelusuri rekam jejaknya. Pertumbuhan pesat tipe jurnal ini dengan segala tipu daya menyulitkan penilai (reviewer) dalam memutuskan apakah JIB tersebut dapat diakui sebagai syarat promosi jabatan profesor.

Persoalan lain menyangkut kompetensi penilai. Selama ini seorang penilai me-review artikel JIB dari pengusul dari rumpun ilmu yang sama, bukan disiplin ilmu yang sama. Profesor sosiologi, misalnya, menilai artikel JIB pengusul dari ilmu politik dan kriminologi. Tentu cara semacam ini tidak dapat diteruskan mengingat setiap disiplin ilmu memiliki ”bangunan pengetahuan”, jurnal ilmiah, dan perkembangan mutakhir (state of the art) tersendiri.

Sejalan dengan munculnya sejumlah akademisi ilmu sosial di perguruan tinggi negeri yang berhasil menerbitkan artikel di JIB rujukan (Achwan et al, 2020), kini sudah saatnya mereka tampil sebagai pemimpin ilmu. Tugas mereka adalah bersama Dikti menyusun daftar JIB rujukan yang diakui sebagai syarat meraih jabatan profesor.

Bersama sejawat di tingkat fakultas, mereka membangun scientific critical mass yang terdiri atas dosen muda berbakat. Terakhir, bersama Dikti dan fakultas, mereka memperkuat asosiasi ilmu sehingga mampu meningkatkan kualitas ilmu sosial. Semua langkah tersebut penting ditempuh guna mewujudkan ilmu sosial akademis dan ilmu sosial publik yang kokoh.

Rochman AchwanSosiolog FISIP UI