Ibu, Madrasah Pertama dan Era 4.0

oleh

Muhamad Parhan, Dara Puspita Dewi Kurniawan, Universitas Pendidikan Indonesia

SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-BANDUNG

Anak adalah aset berharga yang dimiliki oleh orang tua. Anak seperti mutiara yang tidak dapat dinilai harganya. Kehadiran seorang anak memberikan warna baru dan kehidupan baru pada setiap keluarga. Menurut seorang ahli filosofi John Locke mengenai tabula rasa bahwa anak yang baru lahir di dunia diibaratkan seperti kertas putih yang masih kosong (a blank sheet of paper). (Sudirjo, 2016).

Oleh karena itu anak dapat dibentuk oleh orang tua akan bagaimana masa depannya sesuai dengan pola pendidikan yang diberikan. Dimulai dari keluarga, lingkungan yang dekat dengan anak. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dari sinilah pendidikan pertama yang akan anak dapatkan. Fondasi-fondasi yang kokoh diciptakan agar anak memiliki keyakinan yang kuat untuk menapaki kehidupan yang lebih berat kedepannya di masyarakat. Terlihat peran orang tua, ayah dan ibu dalam mendidik.

Seorang ayah sebagai kepala keluarga juga turut andil dalam mendidik anak dimulai saat anak dilahirkan di dunia, seorang ayah mengadzani ditelinga sebelah kanan dan mengqamatinya di sebelah kiri, merawat, memberi nama yang baik, mengakikahkan, dan mendidik anak yang soleh-solehah. Tidak kalah penting seorang ibu sebagai madarasah pertama dan utama bagi anak (madrasah al-ula) sebelum pendidikan-pendidikan formal lainnya.

Sesuai dengan “al-ummu madrasah al-ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban tayyiban al-a’raq.” Artinya ibu adalah sekolah pertama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik (Nurhayati & Syahrizal, 2015).

Di dalam Al-Quran peran seorang ayah tidak hanya mencari nafkah dan berkerja saja tetapi memberikan pendidikan nilai-nilai dan moral, sedangkan seorang ibu mengenai pengasuhan (Zarman, 2011).

Peran ibu sebagai madrasah pertama dan utama di Kota Bandung, berada dalam jalur yang sesuai. Masih banyaknya seorang ibu yang mengurus dan mendidik anaknya seorang diri dengan memberikan pendidikan yang sesuai dengan proses perkembangannya.
Walaupun adanya ibu yang melakukan pekerjaan di luar rumah tetapi proses pendidikan masih dapat dipegang oleh orang tua sendiri tanpa dilimpahkan sepenuhnya kepada pihak lain dan proses pendidkan yang diberikan sesuai dengan daya berfikir dan tahap perkembangan.

Pesatnya perkembangan teknologi digital juga sudah lumrah diketahui oleh seluruh ibu. Ibu sebagai sosok madrasah pertama dan utama bagi anak sudah memahami secara umum dampak negatif dan positif dari perkembangan teknologi digital di era 4.0 ini. Dilihat dari data angket yang telah kami kumpulkan.

Para ibu sebenarnya telah mengetahui dampak era revolusi industri dari pengaruh negatif hingga pengaruh positif bagi anak. Mereka menyetujui adanya pengarahan dalam hal tujuan hidup anak, kontroling dalam penggunaan media digital, dan menjelaskan pada anak arti kebebasan postif pada era 4.0. Oleh sebab itu ibu sebagai madrasah pertama bagi anak sangat diperlukan.

Hasil riset yang dilakukan oleh Muhamad Parhan, Dara Puspita Dewi Kurniawan dapat dibaca pada JMIE : Journal of Madrasah Ibtidaiyah Education, Vol. 4 (2) 2020