Hasil Penelitian Dosen UI: Inilah Praktik Jalan Tikus di Media Sosial

oleh

SPI-JAKARTA

Tren berinteraksi di era disrupsi saat ini, banyak terjadi di media sosial dibanding media massa yang menjelaskan suatu proses cara sebuah gagasan berkembang di masyarakat kontemporer. Media sosial menjadi salah satu elemen kontruksi ideologi hingga aktualisasi dari ideologi negara terutama dalam konteks masyarakat kontemporer tanpa perlu memilah generasi muda dan senior.

Pemaparan tersebut merupakan hasil riset yang dilakukan oleh peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Endah Triastuti, Ph.D. “Pada tahun 80-an ketika gaung internet membuka ruang demokrasi, pemberdayaan, pembebasan, pendidikan, itu masih kencang sekali. Orang melepaskan kelas, identitas, serta judgement dan stereotipe sosial. Lalu pada tahun 2000-an mulai masuk narasi distopia yaitu adanya disrupsi informasi berupa hoaks dan disinformasi,” ujar Endah dalam diskusi Forum Kebangsaan UI bertajuk “Penyusunan Peta Jalan Strategi Kebudayaan Untuk Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan” yang dihadiri oleh Dekan FISIP UI Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto. Acara ini diselenggarakan di FISIP UI pada awal Maret 2022.

Temuan dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa internet bukan utopia dan distopia tetapi ke arah heterotopia atau jalan tikus. “Yang dimaksud jalan tikus ini sifatnya netral. Heterotopia ini dilakukan baik yang mengusung intoleransi ataupun sebaliknya. Ini yang saya garis bawahi bahwa media sosial menunjukan praktik-praktik jalan tikus. Mereka yang satu komunitas yang sama itu justru mengintip dan meminjam jargon dari kelompok yang bersebrangan. Sehingga sebenarnya kita semuanya baik yang pro dan kontra tersebut menggunakan ruangan dengan membentuk allied phenomenon,” kata dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.

“Ada beberapa tagar yang dibuat yang seolah-olah ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan, tetapi ternyata disandingkan dengan tagar-tagar  yang sebetulnya polanya berbeda tetapi semua tagar ini ada di dalam satu postingan. Sehingga jika orang yang tidak cukup punya literasi seolah-olah tagar yang berseberangan tersebut ramah terhadap nilai-nilai kebangsaan,” kata Endah.

Kelompok-kelompok yang kontra nasionalisme, kontra tradisi lokal, serta kontra terhadap wacana kebangsaan, menurut Endah sudah masuk hampir ke seluruh komunitas-komunitas dan lapisan sosial masyarakat, mulai kelas elit hingga kelas bawah menggunakan jalan tikus dengan berbagai cara melalui arisan, pelatihan, dan lain lain. “Yang kesemuanya diproduksi menjadikan narasi kemudian menjadi wacana-wacana dimasukan ke ruang publik melalui jalur tikus dengan memanfaatkan media sosial dengan bahasa-bahasa menarik, logika-logika yang sederhana tetapi orang mudah menerima. Mereka mengakumulasi kapital sosial, kapital simbolik, kapital kultural yang kemudian dikonversi menjadi kapital ekonomi untuk ditawarkan kepada audience dengan memanfaatkan jalur tikus terebut,” katanya.

Endah menjelaskan bahwa untuk diterima dan meyakinkan publik terhadap sebuah pemahaman perlu mengikuti cara mereka berkomunikasi. “Kita (perguruan tinggi) selama ini selalu memaparkan hasil penelitian di jurnal yang terindeks scopus ke masyarakat itu terlalu ketinggian, karena masyarakat tidak membaca jurnal atau hasil penelitian yang ditulis dari scopus. Mereka lebih membaca media sosial dan ini menarik. Perlu adanya strategi untuk meningkatkan literasi dan proses penyadaran masyarakat terhadap muatan nilai-nilai kebangsaan ini melalui media sosial,” ujarnya

Sedangkan dalam pandangan Whisnutama (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2019 – 2020), “Peran digital ini tidak sesederhana apa yang kita lihat hari ini. Karena ada peran algoritma, rekomendasi, dan lainya. Contoh jika kita buka e-commerce, youtube, go-food, atau apapun, kita boleh punya makanan yang mempunyai rasa paling enak tapi jika mesin algoritma tidak merekomendasikannya kira-kira apakah akan dibeli makanan tersebut? Atau punya konten paling kece sedunia, tapi jika mesin youtube tidak merekomendasikannya apakah akan dilihat?” katanya.

“Jadi, Indonesia ini butuh kedaulatan digital. Karena pada saat kita dikuasai data, maka perilaku kita akan tergantung oleh platform-platform digital itu termasuk budaya kita sendiri. Saat ini, teknologi Artificial Intelligence sedang bangkit, untuk menjual sesuatu sebagai bagian dari marketing itu bagus untuk ekonomi digital, tetapi ketika teknologi ini sudah memengaruhi orang  untuk membeli barang atau sesuatu itu juga bisa mempengaruhi budaya, sosial, politik dan bahkan ideologi,” ujar Whisnu yang juga dikenal sebagai sosok yang mumpuni di bidang industri kreatif media.