Menu

Mode Gelap

Riset & Edukasi · 18 Mei 2022 12:05 WIB

Dr. Asep Zainal Mutaqin : Suweg Mampu Jadi Varietas Unggulan

Avatar badge-check

Editor


 Dr. Asep Zainal Mutaqin : Suweg Mampu Jadi Varietas Unggulan Perbesar

SPI-BANDUNG

Suweg (Morphophallus paeoniifolius) merupakan salah satu tanaman umbi-umbian. Tanaman ini pernah populer bagi sebagian masyarakat Jawa Barat, khususnya pada era 60 – 70an. Namun sekarang, keberadaan suweg tidak banyak dikenal oleh generasi setelahnya.

Dalam kajian akademis, literatur mengenai suweg juga belum banyak. Padahal, jika dibarengi dengan penelitian komprehensif, suweg berpotensi bersaing dengan umbi porang. Hal ini mendorong Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Dr. Asep Zainal Mutaqin, M.T., melakukan penelitian mengenai suweg. Melalui penelitian disertasinya pada Program Doktor Ilmu Lingkungan, Asep mencoba meneliti suweg berdasarkan kajian etnoekologi.

Kajian ini bertujuan menemukan potensi suweg berdasarkan pengetahuan lokal dari masyarakat. Mengambil lokasi studi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk dan Citanduy, Asep menemukan fenomena menarik. Banyak responden, terutama dari generasi milenial, yang tidak mengetahui suweg. “Padahal tanamannya banyak tumbuh di halaman rumahnya,” kata Asep.

Asep menjelaskan, masyarakat berusia 50 tahun ke atas masih mengenal suweg. Namun, berbeda dengan kelompok usia 20 tahunan. Meskipun suweg tumbuh subur di lingkungan rumahnya, mereka cenderung tidak mengetahui mengenai umbi-umbian ini.

Suweg memang merupakan tanaman umbi yang tidak dikategorikan punah. Keberadaan suweg, terutama di lokasi penelitiannya, masih banyak. Tanaman ini tidak hanya tumbuh di daerah rimbun (hieum), tetapi juga mampu tumbuh di daerah terbuka (negrak).

Hasil penelitian Asep menunjukkan perbedaan perawakan morfologi antara suweg yang tumbuh di kawasan rimbun dengan terbuka. Suweg yang tumbuh di kawasan rimbun memiliki tangkai daun yang tumbuh tinggi menjulang (jangleung). Sementara di daerah terbuka, tangkai daunnya cenderung kecil (ulanyen). Kondisi ini dipengaruhi oleh perbedaan paparan matahari yang diterima kedua tanaman tersebut. Pengetahuan Lokal Petani menunjukkan umbi suweg yang sudah dipanen.

Di dua DAS tersebut, Asep meneliti kebiasaan responden dalam mengonsumsi suweg. Seperti yang telah dijelaskan, suweg sempat populer sekira lima puluh tahun lalu. Pada masa itu, suweg kerap dikonsumsi masyarakat, baik sebagai makanan pokok pengganti nasi atau pelengkap makanan pokok. Dikatakan sebagai pengganti nasi karena di era tersebut, Jawa Barat sempat mengalami keterbatasan produksi padi. Seiring dengan melimpahnya produksi padi ditambah gencarnya introduksi beragam pilihan kudapan, suweg menjadi terlupakan di masa sekarang.

Asep menjelaskan, suweg juga merupakan makanan yang minim pantangan. Dikatakan demikian mengingat ada beberapa makanan yang pantang dikonsumsi berdasarkan pengetahuan lokal di masyarakat. “Salah satu contohnya adalah pisang mas dilarang dikonsumsi untuk komunitas penduduk tertentu, karena dianggap akan hilang kesaktian. Sementara suweg tidak ada pantangan, tabu, atau pamali,” papar Asep.

Layaknya umbi lainnya, proses pengolahan suweg di lokasi penelitian tersebut dilakukan dengan cara dikukus. Pengukusan ini menghasilkan umbi suweg yang pulen dan sedikit kenyal (cakial). Rasanya cenderung hambar (cambewek) meski ada sedikit ada rasa manis. Untuk bagian tanaman lainnya, Asep perlu melakukan kajian lanjutan mengenai potensi yang bisa dikembangkan dari bagian tersebut.

Untuk saat ini, Asep kerap memanfaatkan daun suweg untuk menjadi pakan ikan. Potensi Suweg masih satu genus dengan iles iles dan umbi porang. Di daerah yang Asep kaji, porang merupakan spesies introduksi. Berbeda dengan suweg yang sudah dikenal penduduk tumbuh di sekitar lingkungan tempat tinggalnnya. Banyak petani yang mendatangkan umbi porang karena saat ini tanaman tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Asep memaparkan, ada beberapa potensi yang dimiliki suweg sehingga mampu menjadi varietas unggulan jika dibudidayakan secara intensif. Secara ekologi, suweg mudah tumbuh di lahan apapun. Asep menemukan bahwa tanaman ini dapat tumbuh pada berbagai ketinggian. Mulai dari di atas 1.000 mdpl hingga di bawah 500 mdpl. “Dari yang saya teliti, keberadaan suweg di lahan pekarangan penduduk tidak lepas dari intervensi manusia. Baik dengan sengaja ditanam tangkainya, ataupun tidak sengaja membuang benih lalu tumbuh,” ujarnya.

Dari kondisi ini, dipastikan bahwa suweg mampu tumbuh di lahan maupun kondisi apapun. Tanpa ada intervensi dari manusia, suweg dibuktikan mampu tumbuh sendiri. Hal ini menjadikan bahwa suweg dapat dibudidayakan dengan baik. “Dengan melihat indikator dataran saja, itu menunjukkan suweg spektrum tumbuhnya luas. Kalau dibudidayakan sangat potensial, terutama dengan adanya anomali iklim. Ia bisa potensial tumbuh dalam kondisi apapun,” papar Asep.*

Artikel ini telah dibaca 19 kali

Baca Lainnya

Ayu Purwarianti, Dosen ITB Beberkan Risiko Penggunaan ChatGPT di Bidang Akademik

25 Mei 2023 - 08:46 WIB

Top! Psikohumaniora UIN Walisongo Jadi Jurnal Psikologi Terbaik 3 di Asia

9 Mei 2023 - 09:53 WIB

6 Rahasia Mahasiswa UIN Bandung Bisa Terbitkan 927 Artikel di Jurnal Ilmiah

2 Mei 2023 - 08:39 WIB

Top! Dosen IAIN Langsa Menang Hibah Penelitian Bank Indonesia

28 April 2023 - 08:26 WIB

Dahsatnya, Ide “Di Bawah Jembatan” Menuju Asia Pacific Forum on Sustainable Development

11 April 2023 - 08:06 WIB

Inilah Wajah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dan Moderasi Beragama

7 April 2023 - 08:30 WIB

Trending di Riset & Edukasi