Dosen USU, Perjuangan Riset Daun Teh Gaharu, Si Tanaman Surga

oleh

SPI-SUMATRA

Siapa yang tidak mengenal gaharu? Tanaman kayu berpohon tinggi menjulang yang mashyur disebut tanaman surga ini merupakan tumbuhan tropis yang memiliki banyak manfaat, terutama pada bagian getah membeku dari batang, yang disebut gubal.

Komposisi kimia dalam gubal gaharu memberikan manfaat tersendiri, antara lain sebagai parfum, obat batuk, anti bakteri, anti jamur, dan insektisida. Kayu gaharu adalah salah satu jenis kayu berwarna kehitaman yang menghasilkan resin khas beraroma harum yang berasal dari pohon gaharu spesies Aquilaria malaccensis yang paling diminati di seluruh dunia. Tak heran jika kayu gaharu merupakan salah satu jenis kayu termahal di dunia.

Keistimewaan kayu gaharu terletak pada kandungan resinnya yang tinggi, sehingga banyak dimanfaatkan untuk industri parfum. Kayu gaharu di pasaran dijual per kilogram dengan harga tergantung kualitas resin yang dihasilkannya. Karena keunikannya itulah kayu gaharu ini dinamai kayu dewa atau kayu dari surga.

Mahalnya harga kayu gaharu disebabkan langkanya pohon gaharu dan masih kurangnya minat masyarakat terhadap budidaya pohon tersebut. Kayu gaharu spesies Aquilaria malaccensis dapat tumbuh hingga 40 meter dengan diameter batang mencapai 40-60 cm. Berdaun lancip dan meruncing di bagian ujungnya. Pohon gaharu juga menghasilkan bunga dan buah. Bunganya berwarna kuning, tumbuh di ujung ranting pada bagian atas maupun bawah ketiak daun.

Sementara buahnya berbentuk bulat dengan ukuran 3-5 cm berwarna kemerahan dan berbulu. Kayunya keras, lurus dengan kulit berwarna coklat keputihan dan bertekstur halus. Sementara bagian gubalnya (bagian dalam kayu sebelum inti) berwarna hitam pekat yang merata dan beraroma harum saat dipotong. Bagian gubal inilah yang kemudian menentukan kualitas kayu gaharu.

Aroma wangi pada kayu gaharu disebabkan oleh jamur Fusarium sp yang menyerang bagian gubal. Gubal sendiri adalah bagian kayu yang masih muda yang terdiri dari sel-sel hidup dan berfungsi menyalurkan maupun menimbun makanan. Saat ini kayu gaharu spesies Aquilaria malaccensis masuk kategori Appendix II berdasarkan hasil konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Amerika Serikat pada tahun 1994. Kayu gaharu disebut terancam punah karena populasinya berkurang sangat cepat akibat permintaan yang tinggi.

Keistimewaan tumbuhan gaharu ini menarik minat Ridwanti Batubara, SHut, MP, salah seorang dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, untuk meneliti dan menemukann manfaat lain dari gaharu. Ia mulai melakukan serangkaian penelitian di tahun 2012, yang kemudian pada pengembangannya saat ini dibantu oleh Tim Prastartup Wikstea Instan, yang terdiri dari Sri Megawati Lubis (CEO), Rizki Hambali Harahap, Adrian Anshori Hasibuan, Karina Aulia dan Ilfa Nindita Harahap, untuk pengembangan riset dan produknya. Sebelum beralih ke riset teh gaharu, Ridwanti fokus pada penelitian tumbuhan obat.

 

Prosesnya dimulai pada tahun 2012-2014 dengan pengembangan awal produk, riset kandungan kimia dan potensi antioksidannya, uji ke konsumen (uji hedonik) dan uji pembanding dengan teh herbal lainnya. Dilanjutkan pada tahun 2015-2016 untuk uji keamanan teh daun gaharu, secara non klinik. Sementara pada tahun 2017-2019, dilakukan eksplorasi bahan baku teh daun gaharu dan penelitian masa simpan. Di tahun 2020, pengembangan produk berbahan ekstrak daun gaharu, teh gaharu instan dimulai, dan pada tahun 2021 dilakukan uji masa simpan dan cemaran mikroba dan merintis Pra Startup “Wikstea Instan”.

“Potensi kehutanan yang nilai jualnya tinggi adalah gaharu. Produksinya dari hutan alam dan diburu hingga akhirnya jadi spesies langka. Kemudian berkembanglah pengetahuan untuk inovasi membuat gaharu yang budidaya. Pada saat budidaya ini, supaya gubal yang diinginkan terbentuk di bagian batangnya, diadakan proses pruning, yakni pemangkasan cabang-cabang sehingga tumbuhnya ke batang. Cabang, daun dan ranting tidak dimanfaatkan,” papar Ridwanti.

Dari literatur luar negeri yang dibacanya, Ridwanti kemudian mendapatkan informasi bahwa daun gaharu itu sangat kaya manfaat dan antioksidan. Ia juga mengetahui bahwa gaharu mulai banyak ditanam dan dibudidayakan, namun daunnya tidak dimanfaatkan. Padahal daun gaharu sangat potensial untuk dikembangkan. Dari sanalah ia kemudian mulai melakukan penelitian dan membuat teh gaharu.

“Ketika saya mengerjakan produk ini, orang-orang mengatakan bahwa hal itu tidak akan disukai. Melalui riset saya melakukan uji coba kandungan kimianya dan dibandingkan dengan teh yang ada di pasaran. Rasanya kelat. Publikasi tentang teh gaharu ini malah dirujuk oleh jurnal internasional,” ungkapnya.

Fakta yang dikeluhkan dari banyak orang tentang teh gaharu adalah rasanya yang kelat dan tak enak karena ada tanin. “Saya mulai menguji apakah teh ini berbahaya bagi tubuh. Tahun berikutnya uji keamanan selama 3 tahun sampai 2016, diuji pada hewan mencit, uji iritasi kulit dan efek pada mata. Ternyata aman. Saat dikasih mikroba untuk control apakah nanti iritasi atau tidak, ternyata malah bagus untuk kulit,” papar Ridwanti.

Tantangan selanjutnya adalah dari ketersediaan bahan baku. Pada tahun 2018 ia memasukkan hibah ke dikti untuk eksplorasi bahan baku. Ternyata diketahui kemudian bahwa tumbuhan ini menyebar di wilayah Sumatera, dari Selatan hingga ke Langkat.

“Pengembangan teh gaharu sebenarnya sudah banyak. Ada di Sumbar, Bengkulu, Kalimantan dan lain-lain. Bahkan sudah skala perusahaan besar. Inovasi yang saya lakukan sudah diteliti. Baik gaharu yang dari alam maupun budidaya sama-sama kaya manfaat dan anti oksidan,” katanya.

Ridwanti mengungkapkan, bahwa teknologi pengolahan teh gaharu dicobanya dengan metode pengeringan sederhana. Daunnya dikeringkan dan dibuat menjadi simplisia, kemudian diseduh. Dikeringkan di matahari, di oven dan di sangrai. Daun yang segar juga bisa direbus dan disangrai.

“Jika menggunakan oven, suhunya 30-40 derajat. Setelah melalui pengujian, ternyata yang bisa menjaga stabilitasnya adalah di oven. Penyimpanan juga dicoba untuk menguji sampai berapa lama anti oksidannya, yakni 6 bulan. Kalau lebih dari 6 bulan, sudah terjadi penurunan kadar tanin dan anti oksidannya. Hanya direkomendasikan untuk pemakaian sampai 6 bulan. Kalau perusahaan berani garansi penggunaan untuk 2 tahun. Karena di industri itu sudah diformulasikan dengan berbagai bahan tambahan. Kalau kami tidak ada memberikan bahan tambahan apapun untuk teh gaharu ini. Dari riset yang dilakukan, 3 bulan masih waktu yang aman untuk mengkonsumsi the yang cair. Tapi sebaiknya kita konsumsi saat anti oksidannya masih tinggi. Untuk penyimpanannya, lebih baik dalam suhu pendingin,” papar Ridwanti.

Meskipun teknologi yang digunakan dalam produk ini sangat sederhana, namun Ridwanti juga memberikan penambahan rasa untuk yang tidak suka kelat. Menurutnya, perasa alami yang disukai konsumen adalah jahe, selain rasa original gaharu. Selain itu, dalam permohonan paten yang diajukannya, terdapat juga teh gaharu yang ditambahkan dengan perasa serai.

Ridwanti juga berniat untuk mencoba khasiat teh gaharu kepada pasien Covid-19, mengingat salah satu manfaat yang terkandung di dalamnya adalah untuk meningkatkan stamina dan kekebalan tubuh.

“Kami sudah pernah melakukan uji coba khusus pada kelinci, yang mengakibatkan tingginya stamina hewan tersebut. Esktrak gaharu juga masuk prioritas untuk suplemen antioksidan dan suplemen makanan. Untuk masakan sop juga bisa dicampur dengan daun gaharu. Bahkan gaharu ini jika dicampur dalam proses memasak nasi juga dapat berfungsi untuk memperlambat basinya. Karena industrialisasinya belum berkembang jadi masih sedikit orang yang tahu,” terang Ridwanti.

Ia juga menjelaskan, bahwa gaharu alam dan gaharu budidaya sangat dipengaruhi oleh kualitas tanah. “Gaharu bisa tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi. Biasa ada di tepi sungai dan di hutan karet. Bagus bersimbiosisnya dengan tumbuhan karet,” katanya.