Bertemu DPR, Rektor IAIN Takengon Bahas Riset Peradaban di Serambi Mekah

oleh

ACEH SENTRA PUBLIKASI INDONESIA

Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon Zulkarnain bersama Forum Rektor Aceh (FRA), melakukan audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Pertemuan yang berlangsung di Gedung DPR Aceh ini mendiskusikan peradaban nusantara di Serambi Mekah.

Pertemuan dipimpin Ketua DPR Aceh Saiful Bahri, hadir mendampinginya, Wakil Ketua DPR Aceh Dr. Teuku Raja Keuamangan serta para Ketua Komisi, dari Komisi I sampai Komisi VI. Sedang FRA, hadir dengan formasi lengkap, seluruh pimpinan perguruan tinggi Negeri di Aceh, sebagai ketua Prof. Herman Fithra.

Rektor IAIN Takengon Zulkarnain, mengatakan, potret dinamika kehidupan Aceh, tidak hanya cukup dilihat pada kondisi saat ini dan proyeksi masa depan. Lebih dari itu, Aceh juga harus dikaitkan dengan kejayaan masa lalu.

“Aceh sebagai serambi Mekah, Aceh digdaya, menginternasional, dan menjadi kiblat tradisi keilmuan dunia, terutama asia tenggara dan asia timur, ini perlu dikaji,” jelas Zulkarnain di Banda Aceh, Sabtu (5/8/2023).

Zulkarnain melihat, kedigdayaan Aceh sepertinya memudar. Saat ini, kilomenter nol peradaban Islam Nusantara monumennya tidak di Serambi Mekah. Hal tersebut, secara langsung memberi efek terhadap pengkajian peradaban Keislaman Nusantara.

“Kami berharap bapak-ibu di DPRA mendorong program dan anggaran untuk penelitian dan pengkajian perdaban Islam Nusantara di Serambi Mekah ini, biaya tersebut dialokasikan pada Perguruan Tinggi di Aceh, dilaksanakan secara kolaboratif, hasilnya dipublikasi dan diupayakan menjadi referensi bagi generasi muda melalui dunia pendidikan, sehingga pemahaman sejarah serambi Mekah terbentang dan terurai secara baik,” paparnya.

Selain itu, lanjut Zulkarnain, dalam menata Aceh masa kini dan masa depan, diperlukan juga program dan anggaran yang fokus mendukung pelaksanaan empat pilar kekhususan Aceh. Empat pilar kekhususan itu mencekup, pelaksanaan kehidupan keagamaan baca Syari’at Islam, adat, pendidikan dan peran ulama dalam pembangunan di Aceh. Serta sejumlah kanun turunannya.

“Keseriusan mengaplikasikan empat pilar kekhususan Aceh, baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif, ulama-cendikia, dan budayawan Aceh, secara sinergis dan kolaboratif, dapat menekan munculnya beragam problem sosial, seperti, dekadensi moral, rendahnya mutu pendidikan, rendahnya pendapatan masyarakat miskin dan lainnya,” ujar Zulkarnain.

“Semua problem sosial itu dapat diupayakan solusinya. Solusi yang lahir dari musyawarah (kolaborasi-sinergi), berpikir dan berkarya untuk mewujudkan visi Aceh dan visi Indonesia Raya,” tandasnya.