Belajar Ilmu Perlu Sanad

oleh

Saya sering menemukan orang baru belajar Agama kepada satu ustadz dan menerima mentah-mentah tanpa ilmunya langsung memvonis ulama- ulama yang produktif menulis kitab disalahkan, termasuk ada ustadz yang tidak mempercayai sejarah para wali yang terdahulu dalam menyebarkan Islam di Indonesia.

Belajar agama itu perlu sanad yang kuat supaya kita memahami ilmunya. Ilmu tafsir, hadist itu luas tak terhingga. Biasanya yang belum belajar hanya gara-gara ikut-ikutan langsung memvonis bid’ah, khurafat, syirik kepada orang yang memiliki pandangan yang berbeda.

Belajar Al-Qur’an tanpa memahami kaidah tafsir akan salah dalam memahami Al-Quran, belajar Hadist tanpa memahami musthalah hadist, metode tahrij, kritik matan dan sanad hadist dan sebab turunnya hadist akan keliru dalam membaca pesan nabi dan menilai keshahihan sebuah hadist, belajar fiqih tanpa memahami ushul fiqih akan tidak mengetahui kemana arahnya.

Celakanya sekaliber imam syafie yang kecerdasannya luar biasa, imam malik yang menulis kitab muatho selama 40 tahun dan sangat ketat, seleksi dalam meriwayatkan hadist disalahkan oleh orang yang baru belajar dari satu ustadz, termasuk imam ghazali yang menulis kitab ihya ulumuddin pun diserang dan dicaci maki oleh sekelompok orang yang menganggap dirinya paling sunnah dan yang lain salah.

Berbahaya sekali memvonis ulama sesat yang telah melahirkan ratusan kitab yang sekarang dijadikan rujukan oleh umat islam hanya karena berbeda pandangan dengan ustadz yang menjadi idolanya.

Saya teringat seorang ulama mengatakan kepada saya “belajar agama tanpa sanad boleh saja, tetapi tidak akan ada keberkahan. Keberkahan dalam mencari ilmu itu jelas harus mengunakan jalur sanad yang mutawatir sehingga tidak gampang menyalahkan pandangan orang lain yang berbeda.

Para ulama terdahulu termasuk dalam 4 Imam madzhab tidak pernah saling mencaci maki diantara mereka walaupun perbedaannya kadang sangat tajam. Kenapa kita yang baru belajar langsung dengan beraninya mencaci maki para ulama terdahulu?

Imam syafie dalam manaqibnya pernah memberi 40 pertanyaan kepada Imam Malik, tetapi beliau hanya menjawab 3 pertanyaan yang disodorkan oleh Imam Syafi, sisanya nanti akan saya cari dulu jawabannya padahal beliau bisa menjawab semua pertanyaannya imam syafie, dua pendiri madzhab ini mengeluarkan opininya masing masing dengan tetap menjaga adab, bahkan perbedaan antara murid dan gurunya disikapi dengan senyuman, tetapi inilah ketawadhuan antara guru dan murid.

Ulama ulama terdahulu yang menghasilkan ratusan kitab sangat tawadhu, sopan dalam menjawab, tidak pernah menyalahkan pandangan yang lain melainkan membimbing penuh dengan kehangatan dan penuh kasih sayang, menghormatinya, tetapi kita masih sibuk membid’ahkan, mengkafirkan sesama muslim seolah kunci surga hanya kelompoknya yang memegangnya. Bagaimana mungkin surga berada diatas mayat-mayat saudaranya yang dibid’ahkan, dikafirkan, disesatkan.

Konsekuensi hukum menyesatkan sesama adalah di neraka sedangkan orang yang menyesatkannya belum mengetahui posisinya kelak akan berada dimana. Surga dan neraka masih misteri. Tugas kita adalah belajar ilmu agama kepada para ulama yang mutawattir, mempelajarinya dan mengamalkannya serta memberikan rahmat bagi seluruh manusia bukan sibuk mencaci maki ulama yang telah melahirkan karya karya yang luar biasa. Semoga bermanfaat.

Mamat Muhammad Bajri, M.Ag | Ketua Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Muhajirin Purwakarta.