Ayo Cintai Rasul Lewat Tindak Kasih Kepada Keturunannya

oleh

Akhmad Rizqi Shafrizal, Mahasiswa Departemen Teknik Sistem Perkapalan ITS

SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-SURABAYA

Sebagai salah satu tinggalan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya, keturunannya sudah selayaknya mendapat penghormatan dan rasa cinta seperti yang beliau terima. Sebagaimana anjuran dari sahabat termulia Rasulullah, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mengatakan, “Cintailah Muhammad melalui cinta kepada para keturunannya (Ahlul Bait).”

Dalam Islam sendiri, Allah SWT dan Rasul-Nya telah mewajibkan seorang muslim untuk hormat dan cinta kepada Ahlul Bait. Namun khusus bagi Rasulullah, penentuan keturunannya diambil dari putri kesayanganya yakni Fathimah Az-Zahro. Hal ini ditegaskan oleh hadis yang memiliki arti, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dalam sulbinya. Dan Allah menjadikan keturunanku dalam sulbi Ali bin Abi Thalib.”

Lebih lanjutnya, perintah terkait Ahlul Bait ini kemudian dijelaskan sebagai salah satu dari dua hal yang mesti dipegang teguh oleh umat Rasulullah. Seperti bunyi hadis berikut, “Aku tinggalkan dua perkara yang sangat berharga pada kalian. Yang pertama adalah Kitab Allah, yang kedua adalah Ahlul Bait-ku,” riwayat Imam Muslim. Meskipun dalam riwayat Hakim disebutkan, “Yang kedua adalah sunnahku,”, namun riwayat Imam Muslim diakui semua ulama lebih kuat dalam periwayatannya.

Tak hanya itu, Al-Qur’an melalui surah Asy-Syura ayat 23 pun mengatur perintah untuk mencintai Ahlul Bait. Dalam ayat tersebut disebutkan, “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak meminta upah kepada kalian kecuali rasa cinta kepada kerabatku,” Dalam tafsir disebutkan bahwa yang dimaksud kerabat disini adalah Ahlul Bait. Dengan demikian, jelas perintah memuliakan dan mencintai Ahlul Bait merupakan perintah langsung dari Allah yang wajib dipatuhi.

Namun, meski telah kuat dasar perintahnya, masih saja terdapat hati yang tidak dapat menerima perintah tersebut. Mereka yang demikian, berpandangan bahwa semua manusia sejatinya sama di hadapan Allah, hanya amal dan takwalah yang membedakannya. Ungkapan tersebut tidaklah keliru, karena asal-muasalnya juga bersumber dari Al-Qur’an. Namun sebenarnya, tanggapan seperti ini tidak berada di konteks yang tepat. Sebab, konteks menghormati Ahlul Bait adalah konsep sosial, hubungan manusia dengan manusia. Bagaimana urusan mereka dengan Allah, adalah urusan yang bukan ranahnya untuk kita campuri.

Dikarenakan konsep menghormati Ahlul Bait ini adalah konsep sosial, mari kita analogikan dengan fenomena sosial lain. Sebagaimana yang kita tahu, dalam bermasyarakat, seseorang memiliki kedudukan tertentu. Kedudukan yang ia miliki mempengaruhi sikap dan kewajibannya terhadap seseorang di kedudukan yang berbeda. Seperti contoh, seorang murid secara sosial wajib menghormati guru dan orang tuanya. Hal ini merupakan fitrah manusia, untuk menghormati seseorang dengan kedudukan tertentu, tanpa menyangkut pautkan hubungan mereka dengan Tuhannya.

Konsep inilah yang terjadi pada kewajiban menghormati Ahlul Bait. Sebagaimana seorang anak yang harus menerima takdirnya sebagai seorang anak dan murid, muslim ahwal (bukan Ahlul Bait) juga harus menerima takdirnya sebagai manusia yang bukan dari golongan Ahlul Bait. Penerimaan ini bukan hanya menerima nasib diri sendiri, namun juga menerima kewajiban yang ditangguhkan untuk menghormati Ahlul Bait. Sekali lagi, posisi Ahlul Bait dalam kehidupan kita tidak berbeda seperti adanya orang tua atau guru yang kita hormati. Kita tidak pernah berharap dilahirkan di tahun tertentu, namun takdir membawa kita untuk menghormati orang yang lahir di tahun sebelum kita lahir.

Mesti digarisbawahi pula, pemuliaan terhadap Ahlul Bait ini jangan lantas dijadikan alasan untuk merendahkan mereka yang ahwal. Sebab para Ahlul Bait sendiri tidak dididik untuk gila akan sikap hormat dari para pecintanya (muhibbin). Sebagaimana yang dicontohkan oleh salah satu kakek moyang Ahlul Bait, Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali, dimana ia tidak pernah menaruh rasa benci kepada Umar bin Sa’ad, pembunuh ayahnya di Padang Karbala. Pembalasan setimpal dalam syariat Islam (qishas) pun tidak dilakukannya.

Hal inilah yang kemudian turut diajarkan kepada anak cucu Ahlul Bait, sehingga menjadi akhlak khasnya. Dan hingga saat ini, sikap hangat para Ahlul Bait kepada muhibbin-nya pun dapat berupa apa saja, mulai dari sambutan yang hangat saat menerima kunjungan, hingga bantuan sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Pada akhirnya, hal inilah yang menjadikan masyarakat mudah menerima dakwah dan keberadaan Ahlul Bait, terutama di negeri muslim seperti Indonesia ini.