Arteria Dahlan dan Edy Mulyadi

oleh

Di bulan Januari 2022 ini, Indonesia diguncang dua kasus etnis. Yang pertama, Arteria Dahlan (AD) anggota DPR RI fraksi PDIP yang menyinggung perasaan masyarakat Sunda dan Edy Mulyadi (EM), wartawan dan kritisi yang menyinggung perasaan masyarakat Kalimantan. Apakah bedanya? Konteks masalahnya berbeda. Mari kita bedah untuk memahami dua kasus keduanya secara proporsional.

Sebagai anggota DPR, AD harusnya mewakili perasaan rakyat yang diwakilinya dan menyuarakan kepentingan rakyat termasuk masyarakat Sunda, etnis terbesar kedua yang posisinya mengelilingi ibu kota Jakarta. AD malah menyinggung perasaan masyarakat Sunda dengan merendahkan bahasanya yang meminta Kejati yang rapat menggunakan bahasa Sunda agar diberhentikan alias dipecat.

Konteksnya adalah ketaksukaan AD bahasa daerah dijadikan bahasa rapat resmi. Ia meminta, Kejati yang orang Sunda dan rapat menggunakan bahasa Sunda itu diberhentikan alias dipecat. Yang membuat masyarakat Sunda marah bukan soal bahasa Sundanya dalam rapat tapi permintaan dipecatnya. Ini yang keterlaluan yang menunjukkan arogansi dan anti kebhinekaan. Pada Bahasa Sundanya sendiri Arteria tidak punya alasan untuk benci. Arogansinyalah yang membuat dia sok kuasa dan seperti memusuhi Sunda.

Kalau pun rapat itu benar memakai bahasa Sunda, tidak bisa disalahkan karena tidak mungkin dalam rapat resmi keseluruhannya berbahasa daerah. Paling itu sebagian kecilnya atau ungkapan-ungkapan, yang itu semua kewajaran kedaerahan yang komunikasi begitu terjadi di semua daerah di Indonesia. Permintaan dipecat adalah arogansi yang bergaya sebagai anggota DPR yang belum dewasa yang ucapannya itu bertentangan dengan posisinya sebagai anggota DPR.

Berbeda dengan AD, EM yang aktivis dan wartawan, bersuara kritis pada kekuasaan. Dalam videonya tertangkap konteksnya bahwa ia sedang menyampaikan kritiknya pada pemerintah soal pemindahan ibu kota. EM tak setuju pemindahan itu terutama dugaan dampaknya pada kedaulatan negeri dimana dirasakan pengaruh asing Cina semakin menguat dan mengendalikan kebijakan² politik pembangunan negeri, bisa jadi termasuk proyek pemindahan ibu kota, walaupun sebenarnya itu rencana sejak zaman Soekarno. Negara korporasi adalah faktanya yang dirasakan bersama. EM sebenarnya sedang membela negara. Hanya, ucapannya bernada emosional sehingga ketaksetujuannya dipindahkan jauh diilustrasikan dengan ungkapan “tempat jin buang anak” pada Kalimantan.

Apakah AD dan EM sedang melakukan ujaran kebencian (hate speech) pada Sunda dan Kalimantan? Sebenarnya tidak. Yang benar adalah AD menunjukkan arogansi, EM emosional dan keceplosan yang tidak menduga ungkapannya akan menyinggung perasaan orang Kalimantan. Seperti AD pada Sunda, EM pun tidak punya alasan membenci Kalimantan. Itu tak mungkin. Yang ia tak suka adalah keputusan pemerintah memindahkan IKN yang tak membaca dugaan bahaya dampaknya bagi kedaulatan negeri. Di dalam pemerintahan ada Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, maka Prabowo pun kena kritiknya dari macan yang mengaum menjadi kucing mengeong karena Prabowo tidak bisa berbuat kontra pada pemerintahan Jokowi. Sindiran pada Prabowo itu bukan hal yang baru, sudah lama diucapkan oleh masyarakat di media sosial.

Hukum

Di dalam hukum, seperti pengadilan di Amerika Serikat, melakukan kejahatan yang tidak sengaja, bahkan membunuh, yang bukan direncanakan atau kejahatan terpaksa, karena misalnya gangguan mental, tertekan, tertindas, tidak normal apalagi gila berbeda masalahnya dengan kesengaajaan atau niat direncanakan yang dilakukan secara sadar. Pelakunya bisa bebas dari hukum.

AD meminta Kejati yang rapat dengan bahasa Sunda dipecat adalah kesengajaan (usulan) yang menyinggung masyarakat Sunda. Sedangkan EM yang mengistilahkan Kalimantan sebagai “tempat jin membuang anak” adalah kesengajaan membuat ilustrasi remote area (tempat yang jauh) dengan kalimat yang tidak enak. AD mengusulkan pemecatan (tindakan merugikan), EM hanya persepsi dan membuat perumpamaan. Keduanya bukanlah kejahatan. Yang satu arogansi, yang satu lagi keceplosan. Keduanya mungkin tak ada pasal hukumnya, yang pasti adalah reaksi sosialnya, telah menimbulkan gejolak dan protes.

Maka, satu-satunya penyelesaian adalah musyawarah dan permintaan maaf untuk tak mengulanginya lagi, yang bagi keduanya, AD dan EM, akan menjadi pelajaran penting hidupnya untuk lebih berhati-hati. Mulutmu adalah harimaimu. Yang minta maaf harus tulus, jangan ada bela diri. Yang tersinggung, yang paling logis, adalah memaafkan sepanjang minta maafnya tulus mengakui kesalahan tanpa bela diri.

Karena secara hukum keduanya bukan kejahatan melainkan ucapan yang menyinggung, bagi AD bisa jadi sangsinya pemecatan dari partainya, keanggotaan partai dan dari DPR, karena merusak elektabilitas partainya ke depan. Bagi EM adalah permintaan maaf secara tulus sebagai kekhilafan yang harus diakui. Hanya itu, karena tak ada kerugian oleh hanya sebuah persepsi. Secara akal sehat atau dalam demokrasi yang sehat, kesalahan persepsi itu responnya adalah klarifikasi, bukan polisisasi.

Bila terjadi pemecatan pada AD dari partainya dan ditarik dari DPR, itu wajar karena merugikan partainya. EM tidak mewakili lembaga. Hujatan dan reaksi keras baginya sudah cukup sebagai hukuman sosial atas kesalahan ucap karena yang disinggung bukanlah orang melainkan tempat.

Masyarakat Sunda akan selesai urusannya dengan AD bila sangsi dari partai sudah dijalankan. Keuheul-nya orang Sunda, hanyalah kemarahan yang tersisa. Bila masyarakat Kalimantan tak mau memaafkan EM, kemungkinannya dua: Pertama, kualitas minta maafnya tidak benar, harus diperbaiki. Yang serius, pengakuan bersalah dan tak ada bela diri. Kedua, bila permintaan maafnya sudah benar, sudah diperbaiki, tapi masih juga tak ada maaf, maka yang tersisa adalah kebencian dan retak-retak kebangsaan, sementara kasusnya, bukan ujaran kebencian melainkan keceplosan berilustrasi yang tak enak kedengarannya oleh penduduk Kalimantan.

“Tempat jin buang anak” itu soal tempat bukan pribadi manusia yang sudah banyak diucapkan pada tempat-tempat tertentu. Sebetulnya tak perlu tersinggung, sebagaimna daerah saya dulu dikatakan sebagai daerah merah alias eks-PKI. Kalau sekarang sudah berubah, apa yang perlu dimarahi? Sama dengan penyebutan “tempat jin buang anak” kini akan jadi ibu kota negara, apa yang perlu dimarahi? Malah mungkin kebanggaan sepanjang mereka menerima ibu kota berpindah kesitu.***

Moeflich Hasbullah, Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.