Arsip dan Riset, Kunci Film Melek Sejarah

oleh

JAKARTA SENTRA PUBLIKASI INDONESIA

Tentu saja riset menjadi amat penting jika bicara soal sejarah. Dari riset yang memadai, orang bisa membangun narasi sejarah lewat berbagai medium, salah satunya film biopik.

Setidaknya hal tersebut keluar dari mulut anggota keluarga dari sosok pahlawan yang beberapa kali muncul dalam film, yaitu salah satu proklamator kemerdekaan RI, Mohammad Hatta atau Bung Hatta.

Tegas betul sang cucu Gustika Jusuf Hatta mengatakan bahwa riset untuk membangun cerita berlatar sejarah tak bisa ditawar-tawar.

“Saya rasa yang penting adalah riset, riset, dan riset.” ujar Gustika pada CNNIndonesia.com, Minggu (18/6/2023) ketika ditanya hal penting dalam niatan membuat film berlatar sejarah.

Hal itulah yang pernah dilakukan Lukman Sardi ketika hendak memerankan sosok Bung Hatta di film Soekarno: Indonesia Merdeka (2013). Gustika menjadi saksi kunjungan Lukman ke pihak keluarga Bung Hatta.

Arsip sejarah juga tentu saja jadi hal penting dalam riset. Arsip Negara Republik Indonesia atau ANRI membuka pintu selebar-lebarnya bagi sineas untuk melakukan riset.

“Kalau memang kepentingannya untuk itu (pembuatan film) ya tinggal mencantumkan konten itu bersumber dari ANRI, nah itu nanti tinggal disampaikan saja ke ANRI,” ujar Imam Gunarto selaku kepala ANRI.

ANRI pun dalam hal pengarsipan menyesuaikan dengan kebutuhan, serta situasi sosial politik di Indonesia. Arisp yang sekiranya menyinggung SARA bisa saja tidak diizinkan keluar.

“Kami sudah menyatakan yang arsip-arsip seperti itu (mengandung SARA) tidak diizinkan keluar, kecuali mungkin situasi kebangsaan, situasi politiknya berubah kan berbeda lagi, makanya ada uji konsekuensi tadi melibatkan para ahli,” lanjutnya.

Imam juga menyebut bahwa film-film berlatar sejarah dapat dinilai sebagai aset arsip nasional. Meski berupa karya fiksi, ia melihat bahwa aspek aspek pemikiran seseorang juga merupakan sebuah arsip bangsa.

“Suatu saat karya-karya itu akan menjadi dokumen sejarah, karena dalam konteks sejarah pemikiran itu adalah jejak langkah pemikiran seseorang atau pemikiran pada zaman tertentu yang direfleksikan dalam karya film,” tutur Imam.

Di lain tempat, sejarawan JJ Rizal menyebut bahwa film-film berlatar sejarah tak bisa serta merta kemudian menjadi bahan riset sejarah. Ia menyebut masih ada kejadian yang dipotret film namun belum tentu benar.

Ia memberi contoh penggambaran momen-momen jelang kemerdekaan RI pada Agustus 1945.

“Misal peran Laksamana Maeda gitu, apakah benar pemerintah Jepang itu memberikan kemerdekaan? Atau orang-orangnya, kan nggak, karena itu riset film sejarah di kita itu tidak bisa ditonton sebagai film sejarah,” ujar Rizal.

Karena itu, penting bagi para sineas untuk belajar sejarah dulu sebelum memutuskan membuat film berlatar sejarah. Ia menyebut bahwa sebagian sineas berfokus pada filmnya, bukan sejarahnya.

“Ya sebaiknya belajar sejarah kalau mau bikin film sejarah, jadikan sejarahnya itu mahkota bukannya keset. Yang dibuat itu di pikiran produser dan sutradara itu filmnya dulu baru sejarahnya,” lanjutnya.