Akademisi dan Kesombongan

oleh

SENTRA PUBLIKASI INDONESIA-PURWAKARTA

 

Muhammad Awod Faraz Bajri, Dosen Sosiologi Agama Sekolah Tinggi Agama Islam Al Muhajirin Purwakarta.

Penyakit yang terjadi di sebagian para akademisi Indonesia adalah merasa sok intelektual dan ilmiah, tulisan yang baru dipublish begitu disombongkan, bisa jadi tulisannya akan dimentahkan oleh tulisan yang lain. Kerendahan hati pun hampir hilang di sebagian kalangan akademisi.

Ilmu yang didapat bukan untuk disombongkan, apalagi untuk menggurui, melainkan ilmu yang didapat untuk ditransferkan kepada orang lain serta memberikan kebermanfaatan bagi sang pembacanya. Apalagi ilmu yang didapatnya bisa membuat penulisnya menjaga integritasnya dengan baik.

Ulama-ulama terdahulu ilmunya begitu luas, karya-karya produktifnya tersebar dimana-mana dan dimanfaatkan oleh orang banyak, tetapi mereka sangat tawadhu dan merasa tidak memiliki ilmu apa-apa, karena ilmu tak terbatas hanya milik sang pemilik ilmu.

Saya beberapa kali melihat baik di dunia nyata atau di medsos tulisan-tulisan para akademisi dengan lantangnya menyalahkan pandangan orang lain serta merendahkannya, orang itu merasa paling intelektual dan merasa akademisi sejati.

Tulisan terbaik itu bukan hanya berdasarkan penelitian semata yang ditopang oleh berbagai literatur, tetapi sang penulis juga harus menjaga integritas di ruang publik. Tak akan berarti apa-apa menjadi akademisi dengan sederet gelar dibelakangnya, termasuk mau jebolan luar negeri atau dalam negeri sekali pun juga, tetapi integritasnya buruk.

Tulisan mau terindeks internasional atau nasional tak akan memberikan manfaat apa-apa, bila penulisnya tidak memiliki sikap rendah hati. Ada sebuah ungkapan adab lebih tinggi dari ilmu. Ketika tulisan dipublish serta memberikan kebermanfaatan bagi orang lain serta menjaga integritasnya maka itu menjadi nilai positif bagi dirinya serta masyarakat.

Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong?  Hakekatnya ilmu yang diperoleh oleh manusia hanya sedikit saja, dibandingkan dengan sang pemilik ilmu yang tak terbatas luasnya

Pertarungan intelektual antar akademisi bukan untuk merasa paling hebat atau paling kuat literaturnya, melainkan saling menopang diantara sesama, saling memperkuat, bukan saling menjatuhkan satu sama lain. Mungkin literatur yang dibaca dan ditulis hanya beberapa saja, sedangkan literatur dari berbagai disiplin ilmu sangat luas.

Menurut Imam Ghazali bahwa pengetahuan Allah bukanlah hasil dari sesuatu melainkan sesuatu itulah yang merupakan hasil dari pengetahuannya, sedangkan  pengetahuan manusia dihasilkan dari adanya sesuatu, ulama itu memberikan contoh dengan pengetahuan pemain catur dan pengetahuan pencipta permainan catur, maksud sang pencipta adalah penyebab adanya catur, keberadaan catur adalah sebab pengetahuan pemain.

Pengetahuan pemain diperoleh jauh sesudah pengetahuan pencipta catur Ilmu manusia tidak ada apa-apa dengan sang pemilik ilmu. Ilmu yang hanya sedikit saja tidak pantas untuk disombongkan,tak pantas merasa lebih pintar dan benar dari yang lain, tetapi berbagi ilmu dengan sesama adalah sebuah keharusan dan saling mengingatkan

Sang pemilik ilmu dengan manusia ibarat setetes air di atas lautan samudra yang luas, tetapi kadang orang sombong dengan ilmunya, terkadang merasa paling pintar dan merendahkan orang lain (QS Luqman: 27-28)