Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020.
Peran media tidak sekadar mengamplifikasi pesan atau konten keagamaan, tetapi juga merekonstruksi agama di ruang publik.
Persinggungan antara agama dan media massa merupakan kata kunci menarik bagi kalangan pengkaji agama dan media. Perkembangan teknologi informasi yang sangat dinamis menjadi alasan tersendiri mengapa diskursus ini selalu relevan. Tulisan ini mengkaji perjumpaan agama dan media dari sudut pandang yang lebih luas menggunakan pemetaan agama dalam ruang publik media milik Stig Hjarvard . Dalam artikel “Three Forms of Mediatized Religion: Changing the Public Face of Religion” yang terkompilasi dalam Mediatization and Religion: Nordic Perspectives (2012), Hjarvard meletakkan relasi agama dan media dalam tiga formasi; agama dalam bingkai jurnalisme sekuler, agama sebagai instrumen hiburan dan ekspresi budaya populer, serta agama dalam media keagamaan yang dijalankan oleh lembaga keagamaan.
Dalam ketiga ranah tersebut, peran media tidak sekadar mengamplifikasi pesan atau konten keagamaan, tetapi juga merekonstruksi agama di ruang publik. Tesis Hjarvard tersebut tidak membahas religiositas atau spiritualitas individu dalam ruang media massa, tetapi bagaimana interaksi antara agama dan media yang kemudian ditampilkan sebagai bagian dari ruang publik.
Agama dalam Jurnalisme Sekuler
Dalam meliput agama, ranah jurnalistik berpegang pada norma-norma sekuler. Ini adalah ranah yang menjadi perhatian utama teori-teori tentang ruang publik. Hjarvard menyebut aktivitas di bidang ini sebagai “jurnalisme agama”. Ranah jurnalisme ini membawa agama ke dalam ruang publik politik sekaligus menyaratkan agama untuk tunduk pada paradigma dominan jurnalisme tersebut.
Dalam industri media, pembentukan cara pandang adalah ihwal yang lazim. Media senantiasa memosisikan diri di tengah-tengah audiensnya sebagai agen utama dengan penikmat media sebagai klien. Kyuhoon Cho dalam “Religion in the Press: The Construction of Religion in the Korean News Media” (2017) mengkaji perilaku media yang ikut membentuk wajah agama sesuai keinginan penikmat medianya. Cho menganalisis bagaimana agama disajikan di media berita seperti surat kabar dan lembaga penyiaran di Korea Selatan modern. Sejak 1990-an, industri media Korea Selatan dengan cepat berubah menjadi entitas professional yang lebih otonom berkat kemajuan demokrasi dan reformasi sosial yang pesat. Dalam konteks ini, mayoritas pekerja media telah menginternalisasi standar jurnalisme liberal atau bahkan progresif. Akibatnya, media profesional telah secara aktif dan bebas memproduksi informasi dan penilaian tentang berbagai kelompok agama, banyak di antaranya berkaitan dengan dimensi budaya dan dimensi sensasional dari sebuah agama.
Kyuhoon Cho mengungkap bahwa media massa Korea Selatan modern cenderung menyebut agama-agama mayoritas di Korea, seperti Buddha, Konfusianisme, dan agama leluhur sebagai warisan asli Korea. Media Korea Selatan mencitrakan tradisi agama-agama tersebut sebagai patron inti budaya bangsa di tengah-tengah era globalisasi. Sebaliknya mereka membingkai agama-agama baru yang dianggap berasal dari tradisi rasionalis-sekuler, seperti Protestan, sebagai agama yang fundamentalis dan antisosial. Dalam kacamata Hjarvard, agama “modern” tersebut merupakan korban dari jurnalisme agama. Bingkai media yang semacam itu tidak lain karena hasil internalisasi standar jurnalisme liberal atau progresif yang didukung oleh perkembangan politik masyarakat Korea Selatan. Agama dalam kajian Kyuhoon Cho diletakkan sebagai objek kepentingan media. Dalam hal ini, institusi media sudah mempunyai ideologi tertentu terkait agama. Melalui praktik jurnalisme sekulernya, media memiliki kuasa untuk mendiseminasi ideologi tersebut. Dengan kata lain, ideologi dan bias media ikut membingkai wajah agama di ruang publik.
Agama dalam Ruang Budaya
Agama juga hadir di ruang publik dalam bingkai budaya populer, seperti film, serial televisi, novel, dan bentuk hiburan lainnya. Hjarvard menyebut bentuk agama dalam ruang budaya semacam ini sebagai banal religion atau ‘agama yang banal’. Media, melalui berbagai simbol dan tindakan yang secara implisit membawa agama, secara tidak sengaja memperkuat kehadiran agama dalam budaya dan masyarakat. Akan tetapi, tentu saja para pekerja media ini harus mempunyai kesadaran tentang misi itu. Kesadaran tersebut untuk menjamin bahwa simbol religiositas yang dibawa ke ranah media membawa pesan dan nilai. Aktor-aktor yang melibatkan diri dengan agama dalam bidang ini adalah mereka yang bergerak di industri budaya dan hiburan, misalnya penulis fiksi, pembuat film, musisi, produser hiburan di televisi, desainer gim komputer atau orang yang bergerak di industri kreatif. Lingkup ini mencakup juga ekspresi budaya “klasik” terutama yang berkaitan dengan budaya populer yang terlihat di majalah gaya hidup, serial televisi, novel, dan film.
Salah satu contoh menarik dalam konteks ini adalah citra agama dalam film. Rachel Dwyer dalam Filming the Gods: Religion and Indian Cinema (2006) mengupas tentang peran dan citra agama di film-film India. Alih-alih menelusuri sejarah sinema religius di di India, Dwyer mengupas bagaimana India menciptakan imajinasi-imajinasi religius dalam film-filmnya, seperti yang telah termanifestasikan dalam budaya dominan di India. Bagi Dwyer, film adalah ranah terbaik untuk memulai kajian representasi agama dan budaya. Film tidak hanya menyajikan kepada kita simbol-simbol religiositas, tetapi juga cara penonton mengonsumsi simbol-simbol tersebut. Tentu saja, tidak semua orang menonton film. Namun, film merupakan cara penting untuk mengukur bagaimana sebuah bangsa melihat dirinya sendiri sekaligus bagaimana komunitas melihat diri mereka sendiri dan orang lain. Temuan Dwyer ini memberi warna baru pada kajian religiositas dan sekularisme di India yang seringkali diperdebatkan secara politis, alih-alih sebagai imajinasi budaya.
Ketika menggunakan istilah banal religion, Hjarvard mewanti-wanti bahwa ia tidak sedang memberikan istilah peyoratif pada fenomena tersebut. Agama yang hadir dalam bingkai ruang budaya bukan berarti agama yang remeh-temeh dan tidak penting karena terdistorsi oleh media. Seperti yang ditunjukkan dalam kajian Dwyer, agama yang dipinjam simbol-simbolnya oleh media merupakan bagian dari proses representasi masyarakat.
Kongsi Agama dan Media
Relasi agama dan media juga bisa hadir dalam bentuk ruang media keagamaan. Institusi agama dapat membuat sendiri ruang media untuk kepentingannya dan ditujukan untuk khalayak agama tersebut. Lingkup media ini dapat mencakup buku, jurnal keagamaan, surat kabar, saluran radio, televisi, situs web, hingga akun media sosial. Hjarvard menyebut praktik media yang dikendalikan dan dioperasikan oleh aktor-aktor agama ini dengan religious media atau ‘media keagamaan’. Media keagamaan ini menggabungkan media massa dan media jejaring sosial dengan kehadiran publik. Meski bertujuan untuk menjangkau publik, tetapi audiens utama media ini adalah komunitas iman mereka sendiri.
Patricia Birman, melalui “Future in the Mirror: Media, Evangelicals, and Politics in Rio de Janeiro” dalam Religion, Media, and the Public Sphere (2006), memberikan ilustrasi nyata dalam kasus Universal Church of the Kingdom of God (UCKG) yang berhasil memanfaatkan media untuk meneguhkan eksistensinya. Menurut Birman, UCKG adalah denominasi gereja Kristen evangelis yang berambisi untuk meruntuhkan hegemoni gereja Katolik di Brasil. UCKG pada awalnya mendapatkan banyak perlawanan, terutama dari pihak gereja Katolik. Dengan menjalankan stasiun TV, surat kabar, dan majalahnya sendiri pada era 90-an, UCKG berhasil mencitrakan dirinya sebagai ikon teknologi media modern sekaligus menawarkan imaji alternatif bagi masyarakat Brasil. Persekutuan antara agama dan media ini berhasil mempromosikan wajah religius Brasil yang baru dari yang semula menjadi negara Katolik terbesar di dunia.
Persekutuan tersebut sangat efektif untuk mengamplifikasi pesan. Stratos Patrikios membuktikan efektivitas ini dalam “Comparing Religious Messages in the Media and in the Congregation: A Greek Orthodox Case Study” (2013). Asumsinya, pesan-pesan keagamaan dapat disampaikan kepada dua jenis khalayak: jemaat lokal melalui ceramah langsung di gereja dan khalayak luas melalui media massa. Pertanyaannya, apakah aktor agama mengeluarkan narasi yang sama untuk kedua penonton? Dalam tulisannya, Patrikios menyimpulkan bahwa narasi para tokoh agama sangat berbeda di masing-masing ruang. Paparan narasi keagamaan di media cenderung disajikan dalam bahasa sehari-hari yang lebih santai dan informal.
Dalam upaya menyejajarkan langkah dengan modernisasi, para elite agama cenderung menggunakan media untuk menjangkau publik. Media dengan bahasa yang ringan mampu lebih efektif mengikat massa daripada para tokoh agama. Menurut Patrikios, ini justru ironis. Meski paparan media mampu melanggengkan nilai dan pesan agama, pada saat yang sama hal itu dapat menjadi pemicu melemahnya otoritas keagamaan. Meskipun ini adalah poin spekulatif, tetapi potensinya sangat kentara.
Dari berbagai bentuk relasi tersebut, Hjarvard menggarisbawahi bahwa persinggungan agama dan media pada saat ini bukan sekadar menampilkan mediasi agama, melainkan menapaki tahap mediatisasi agama. Jika mediasi agama hanya menyuguhkan media sebagai jembatan antara audiens dan instititusi keagamaan, mediatisasi agama beranjak lebih dalam. Media menjadi sumber penting pembawa ideologi yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak dan menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan logika media. Media bukan sekadar corong agama, melainkan juga cetakan yang ikut membentuk wajah agama di ruang publik.